Pengalaman Pribadi
Oleh : Hasan
Semenjak kecil aku terlahir menjadi orang yang biasa. Kadang ku berfikir kelebihan apa yang bisa kubanggakan kelak. Aku pun terlahir menjadi orang yang suka mengikuti arus. Kadang keputusan yang kubuat, bukan karena keputusanku, karena arus yang membuat keputusan tersebut harus kuterima.
Termasuk saat penjurusan SMA. Dalam fragmen berfikirku saat itu, aku sama dengan pemikiran anak-anak kebanyakan di SMA ku. Harus masuk jurusan IPA. Aku pun belajar mati-matian untuk bisa meraih jurusan itu di SMA ku yang telah masuk standar internasional.
Akan tetapi, ternyata usahaku sia-sia. Saat ujian penjurusan, dadaku terasa sakit. Aku sering batuk. Hingga beberapa kali mengeluarkan darah.
“Dok anak saya sakit apa?”
Ibu yang waktu itu setia menemani di rumah sakit khusus penyakit paru-paru di daerah ku bertanya.
“TBC”
Dokter itu menjawab singkat.
Waktu itu sempat kudengar ia terus menanyakan beberapa hal padaku. Akan tetapi kuabaikan, aku berfikir, darimana penyakit ini datang? Aku tidak merokok. Pergaulanku pun dengan orang yang bebas rokok. Aku bingung. Sementara waktu ujian akhir kenaikan kelas tak bisa berhenti. Aku pasrah.
Ternyata kekhawatiran ku menjadi kenyataan. Saat ujian fikiranku kacau. Aku tak sempat belajar. Aku harus bertarung melawan dua hal; Ujian akhir dan TBC. Saat itu tak ingin kugunakan izin untuk ujian susulan, aku tak mau semua orang tahu, termasuk teman-temanku, bahwa aku sakit. Aku ingin mereka tetap fokus pada ujiannya. Sementara aku pun berfikir penyakit ini akan lama sembuh.
Aku terus berjuang. Hingga akhirnya ujian selesai. Selepas ujian sakit ku makin parah. Batuk darahku makin sering. Tubuhku pun selalu terasa lemas. Kadang dalam kesendirian aku berfikir, adakah dosa yang telah kulakukan? Apakah ini suatu teguran dariNya?
Tanya itu terus bermain dalam otakku. Nilai pun diumumkan. Nilai mata pelajaran IPA ku semuanya 6. Air mata tak kuasa kubendung. Aku tak bisa masuk jurusan IPA yang kudambakan, menjadi seorang dokter seperti ibuku.
Semenjak itu, tangis menjadi teman dekat yang mengisi keseharianku. Aku banyak menyendiri. Hingga akhirnya aku berdoa dan merenung.
Buat apa aku bersedih? Toh semuanya sudah terjadi dan tak bisa terulang lagi? Mungkin ini jalan yang terbaik untukku…
Mulai saat itu, kembali kutata hati ini. Mencoba pasrah dan ikhlas menerima kenyataan. Aku pun berjuang di jurusan IPS. Ternyata IPS tak seperti yang kubayangkan, membosankan. Ternyata IPS menyenangkan. Beberapa kali aku menjadi juara pertama dari try out yang dilakukan di daerahku. Hingga kemudian aku masuk ke universitas negeri terbaik di Indonesia, UGM, dengan jurusan yang cukup bonafit untuk anak IPS, manajemen.
Berkat jurusan IPS ini pun aku mengenal dunia penulisan. Semasa kuliah, bersama organisasi penulisan yang kuikuti, aku terus berkarya. Hasilnya sangat membanggakan. Beberapa kali orang memuji tulisanku. Inikah bakatku?
Waktu terus berjalan. Di manajemen FE UGM indeks prestasi semester ku selalu diatas 3,5. Aku pun berhasil memperoleh dua beasiswa. Sementara di bidang penulisan, beberapa prestasi kompetisi berhasil kuraih. Dua hal ini membuatku menjadi orang yang mandiri. Tidak bergantung lagi pada orang tua, mulai semester 4.
Kini, dalam hati ini terpatri keyakinan yang kuat, ternyata aku bisa menjadi orang yang tidak biasa, bahkan menjadi orang yang luar biasa. Ternyata, apa yang kita inginkan, tidak selalu mencerminkan apa yang kita perlukan. Dzat pencipta kitalah yang mengetahui apa yang terbaik bagi hidup kita. Inilah takdir yang terbaik yang ditetapkanNya untukku. Meskipun kadang melalui jalan yang tak pernah kita duga. Aku pun semakin yakin, ternyata aku bukan salah jurusan.
Hasan
Email : abu_falih@yahoo.co.id, abufalih.multiply.com
/>
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
wah.. makna yang terkandung didalamnya sangat berarti
Kadang kita suka berburuk sangka kepada-Nya, padahal Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.
membuat saya makin bersemangat berusaha untuk benar-benar menjalani hidup tanpa adanya paradigma sesat seperti 'IPS jelek' atau 'IPA hebat'
klo saya sebaliknya, salah jurusan karena gengsi. Jurusan IPA itu orang pinter-pinter. aku masuk jurusan IPA, padahal aku lebih suka IPS dan nilai-nilai IPS ku lebih bagus dari IPA, akibatnya nilai dan rankingku anjlok.
Dari sini aku belajar, untuk mengikuti kata hati, bukan mengikuti ego dan gengsi.
wah, jadi inget dulu, mirip2 nih,
tapi sekarang setia sama IPA dong, teuteup
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)