Oleh : Muhammad Rafi
Prilaku Korup yang sering kali di lakukan oleh sebagian para pejabat di negeri ini bak jamur di musim hujan. Kita tentu masih ingat aksi yang di lakukan oleh KPK untuk mengurai benang kusut korupsi beberapa waktu lalu. Korupsi di lakukan bukan hanya perindividu malah ada yang dilakukan secara berjamaah.
Salah satu penyebab mengapa korupsi begitu mengakar di lembaga-lembaga kekuasaan di negeri ini boleh jadi di sebabkan karena hilangnya rasa malu pada diri sebagian elit penguasa di negeri ini. Dengan mengkorupsi uang rakyat mereka menekan hati nurani nya sendiri yang jelas-jelas berontak dan tidak setuju dengan apa yang mereka lakukan.
Begitupun halnya menjelang pemilu 2009, Semua sibuk para kandidat keliling daerah menyapa rakyat, yang ketika berkuasa mungkin hal tersebut sangat langka di lakukan, kritik tak berdasar seringkali di jadikan komoditas politik yang di jual demi meraup dukungan, mengapa semua mata politisi tertuju pada rakyat disaat menjelang pesta akbar demokrasi di lakukan?
Potret buram kemiskinan dan jauh dari hidup layak senantiasa menghiasi televisi dan media cetak tanah air, namun yang sangat di sayangkan ketika issu kemiskinan di jadikan sebagai komoditas politik untuk meningkatkan popularitas sang calon pemimpin, bukan sebaliknya menawarkan langkah-langkah kebijakan staregis untuk menuntaskan permasalahan yang di hadapi oleh rakyat.
Sejatinya berbagai masalah yang ada hendaklah benar-benar di carikan jalan keluarnya, jangan lantas kumpulan kisah muram kemiskinan yang di dapat selama masa kampanye di campakkan begitu saja setelah kekuasaan berada di genggaman.
Di akui Sangat sulit mencari seorang figure pemimpin yang mengerti dan mau memahami rakyat dengan tulus dari dasar hati. berbuat untuk rakyat bukan hanya menjelang pemilu namun sudah menjadi keseharian dari setiap prilakunya. inilah figure pemimpin masa depan bangsa yang di butuhkan oleh 200 juta lebih rakyat Indonesia.
Budaya Malu
Semakin gencarnya para politisi mendekati lumbung-lumbung suar rakyat tak ada yang salah jika memang niat berjuang demi perbaikan nasib rakyat, apalagi di negara demokrasi seperti Indonesia, berbagai kebebasan berpolitik yang pada masa orde baru di belenggu pasca reformasi di buka kembali. Hak-hak politik warga Negara saat ini benar-benar di lindungi dan di jamin oleh undang-undang.
Malu punya arti luas, seperti malu jika pernah menjabat tak mampu mewujudkan janji pada rakyta, malu jika setelah menjabat berbuat KKN, malu jika malas ngantor untuk mengurus rakyat, malu jika melihat rakyat meminta-minta di jalan raya sementara mereka bergelimang harta dan kemewahan.itulah sebabnya budaya malu ini perlu terus di tanamkan pada diri pejabat agar segala tindak tanduk mereka positif dan di dukung rakyat.
Sebagai abdi masyarakat sejatinya semua pejabat public adalah pelayan rakyat tak peduli apapun status social yang di sandang rakyat., jadi jika hal ini di pahami sepenuhnya oleh para elit, tidak ada lagi istilah untuk di layani dan menjadi raja kecil di setiap tempat pelayanan public sehingga masyarakat benar-benar merasakan manisnya pelayanan dari aparatur kita.
Rasa malu pada hakekatnya tidak terlepas dari kriteria adat istiadat, kebiasaan dan budi luhur yang dimiliki oleh bangsa berbudaya. Sebagai bukti adalah adat kebiasaan orang Jepang yang lebih baik melakukan hara-kiri dari pada harus menanggung malu. Paruh kedua September 2008 menteri pertanian Jepang mengundurkan diri akibat permasalahan beras yang tercemar pestisida dan jamur. Selang beberapa hari kemudian menteri transportasi juga mundur akibat serangkaian pernyataannya yang membuat gusar berbagai pihak. Di negara lain yang dengan sistim demokrasi sudah mapan, juga sering terjadi kasus pengunduran diri pejabat negara.
Di Indonesia, patut disimak pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sbb.: “Anda boleh setuju atau tidak, dalam keluarga kami, orang Bugis, utang tidak akan kami kemplang. Kami pasti akan bayar, tetapi tidak akan kami serahkan ke asing. Itu sikap dan harga diri kami” (Kompas 27/9). Artinya, JK merasa malu bila sampai ngemplang utang perusahaan keluarga yang dimilikinya.
Pada dasarnya rasa malu merupakan fenomena sosial yang secara subyektif dilakukan oleh orang atau pihak tertentu. Secara obyektif ada orang yang tahu malu dan ada pula yang tidak tahu malu. Menyingkap tabir “budaya malu” tidak lebih hiruk pikuk apabila dibandingkan dengan “budaya korupsi”. Meski bernuansa senada yaitu menyangkut watak dan kepribadian seseorang, pada korupsi yang menjadi fokus adalah persoalan materi. Sedangkan dalam hal “malu”, lebih bersifat non materi. “Budaya malu” penekanannya adalah menyangkut masalah moral dan harga diri. Ada perbedaan mendasar dan bertolak belakang dalam hal ini: bagi yang tidak korupsi diartikan sebagai suatu hal positif, sedangkan yang tidak tahu malu adalah negatif.
Kapan untuk menunjukkan rasa malu bagi masing-masing individu adalah sangat relatif tergantung kepada pribadi, waktu, tempat serta konteks permasalahan yang dihadapi oleh orang perorang. Untuk membangun “budaya malu”, fungsi agama dan lembaga pendidikan adalah sangat penting dan ikut menentukan. Apabila sampai pada keadaan bahwa orang sudah tidak punya malu, maka misi agama dan lembaga pendidikan dianggap gagal. Lalu akan seperti apa jadinya dunia ini?
Pembicaraan menjadi akan lebih hangat apabila kita dihadapkan kepada pertanyaan sbb.: Apakah bangsa Indonesia masih punya malu? Atau : Apakah kebudayaan Indonesia yang dikatakan tinggi itu harus minus malu? Dimanakah sebenarnya keberadaan malu itu? Jawabannya terletak pada lubuk hati masing-masing orang, watak serta mentalitas bangsa baik dari kalangan intelektual maupun yang kurang berpendidikan.
Pada kenyataannya sekarang ini di Indonesia masih terdapat orang-orang yang melakukan korupsi, melakukan pelecehan, melanggar HAM, pungutan liar, sengaja memalsukan data, melakukan kebohongan publik dan banyak lagi tindakan yang kurang etis serta perilaku menyimpang. Pelakunya juga bervariasi tanpa memandang pangkat, jabatan, kedudukan, latar belakang pendidikan dan strata sosial.
Secara kasat mata semua itu dilakukan oleh orang-orang yang cukup terhormat namun asosial dan tidak punya rasa malu. Golongan semacam ini tanpa ragu berani melanggar hukum, adat kebiasaan dan tradisi. Berbagai kasus membuktikan bahwa korupsi di Indonesia terjadi bukan karena alasan kemiskinan, akan tetapi karena yang bersangkutan tidak tahu malu dan serakah.
Sasaran kritik terhadap suatu keadaan merupakan kontrol sosial yang ditujukan kepada penguasa dan penyelenggara negara, karena dalam banyak hal kondisi Indonesia masih compang-camping. Penyelewengan serta berbagai kejanggalan baik di lembaga resmi termasuk eksekutif, legislatif dan judikatif maupun masyarakat masih marak dan tidak terukur. Semuanya bertumpu kepada kebijakan/regulasi pemerintah. Dengan banyaknya pelaku korupsi tertangkap oleh aparat hukum di negeri ini semoga kedepan para elit penguasa lebih punya rasa malu dalam memberikan pelayanan pada rakyat.
Muhammad Rafi
Bermukim di Jl. Raja Kecik Kampung Rempak
Siak Sri Indrapura, Provinsi riau
Email : rafi_m83@yahoo.co.id
Image by : muhsinlabib.wordpress.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)