Pengalaman Pribadi
Oleh : Aulia Rahmawati
Bismillahhirohmanirohim
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang)
Demi pena, dan apa yang mereka tuliskan (Q.S Al-Qalam:1)
Jika boleh, hitunglah tiap huruf yang saya baca ini sebagai ibadah, yang dengan itu semoga Engkau mengijinkanku untuk menatap wajah-Mu
Apa yang kalian pikirkan saat pertama kali membaca judul di atas, tentang kesehatankukah? Hmpfh…bukan kok, ini tentang sebuah kisah yang dimulai pada awal semester satu, awal menginjak bangku kuliah.
Perkenalan kami semua berawal dari sebuah diklat organisasi ekstra kampus, biasanya dijuluki OMEK oleh orang-orang, organisasi ekstra ini bernama HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), OMEK tertua, the oldest extra organization of campus they told me (is it right?Oufhh…made me proud!), diadakan di sebuah villa batu pada bulan Ramadhan, bulan penuh ampunan selama tiga hari, aku lupa tanggal tepatnya. Setiap organisasi pasti mempunyai tujuan, dan tujuan organisasi ekstra ini adalah mewujudkan insan akademis pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang di ridhoi oleh Allah SWT. Teridentifikasi dengan bendera hijau-hitam dan bulan-bintang. Mulanya, mereka semua terasa asing di mataku, terlihat aneh, gila dan juga luar biasa, dan jujur, aku merasa minder dengan mereka yang mempunyai kepercayaan diri yang membuatku berkata ‘WOUW’, mereka lebih segalanya dibandingkan aku, ada setitik rasa iri untuk menjadi seperti mereka, rasanya minder sekali waktu itu.
Kegiatan-kegiatan kami dilakukan baik di luar maupun di dalam kampus, anggotanya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang kritis, radikal, haus akan ilmu dan diskusi-diskusi, namun kelompok yang berdiri bebas dan mandiri, membahas segala macam hal, mulai dari isu-isu actual, seputar kebijakan pemerintahan, isu-isu nasional maupun internasional atau membahas mata kuliah yang kami tak mengerti dan yang mengerti akan menjelaskan pada yang lain yang tak mengerti. There wasn’t day without discuss, and always be like that.
Organisasi tempat kami bernaung sudah lama sekali berdiri dan setiap angkatan pasti mempunyai nama kelompok, dan angkatan kami menyepakati nama yang menurut senior sedikit aneh,, mengsle, gak banget, unik dan mengundang tawa bagi yang mendengarnya, ‘BAYI SEHAT’, yups itulah namanya. Nama itu identik dengan salah satu presidium kelompok kami yang badannya besar, namun wajahnya terlihat baby face. Seiring berjalannya waktu, kami jadi lebih mengenal satu sama lain, dan entah bagaimana, kakak-kakak pengurus terlihat sangat memanjakan angkatan kami yang doyan banget diskusi panas, kami mendapat perhatian yang lebih. Betul gak? (Aku juga belum tau apa jawabannya nih).
Kalau aku boleh mengidentifikasi, ada delapan orang yang sangat kukenal, terdiri dari berbagai macam tipe, gak ada yang seragam, kayak TMII yang berisi kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Dari presidium kami yang pertama, asalnya dari Bali, namanya kita sebut saja ‘Ahmad’, tipikal orang yang kalau lagi ngomong terlihat sangat tenang dan tersusun apik, kadangkala terlihat sangat emosional dan tersulut emosinya. Nurma, cewek yang doyan banget jalan kaki kemana-mana, kritis puol, feminis radikal, pejuang gendre, kalau udah ngomong sudah dipotong dan cuepet kayak kereta api ekspres, ‘Dengerin donk, aku mau ngomong!’, tapi kalau mau dia berhenti tinggal pencet aja tahilalat di deket mulutnya (Hehe…ampun nduk!), sensitif dan cablak banget. Nia, cewek gaul yang doyan banget shopping, fashionable, selalu ngomentarin penampilan setiap orang yang menurut dia gak sreg menurut selera fashionnya dia, suka banget nebak-nebak pikiran orang, bisa dibilang suka ‘lebay’ tapi ulet dan super rajin, bertanggung jawab banget sama beban yang dipikulkan di pundaknya, dan selalu berusaha menyelesaikan secara sempurna, ‘Apa sih yang buat sodara?’. Arif, cowok paling muales yang pernah aku tahu, gak ada yang patut untuk dijelaskan selain kalau dia itu ‘tukang gombal’ dan tukang bikin ricuh forum diskusi, kuat wacana tapi selalu mbulek kalau menyampaikan, bikin semua orang pada gregetan sama dia. Ibni, cowok yang kuat wacana, emosional banget, perutnya aja yang digedein dan suka menggila kalau ketemu soulmatenya si Tole, cowok super punk, dengan apapun berwarna hitam, mulai dari kulit (banyak bolotnya kali ya!), rambut yang selalu berubah seiring perkembangan cuaca, pakaian, kaos hingga celana dan sepatu, hingga kendaraannya, pantes banget dapat sebutan, MAN IN BLACK, selalu terlihat kumal dam ambruadul (Kalau kamu kayak gitu, gimana ada cewek yang kecanthol le!). Firas, blasteran Pakistan yang terlalu sering disangka bule blasteran barat, paling suka dipanggil ‘kapitalis’ karena dia menganut aliran sosialis, mempunyai pola pikir tersistematis yang kadang terlalu sering berwacana daripada konkretnya (Gak azhik!). Mami, cewek yang satu ini selalu jadi sasaran empuk untuk curhat, karena tutur katanya yang ke ibu-ibuan, ini dia partnernya Nia lagi kumat shoppingholicnya.
Dalam hatiku, awalnya aku tak terlalu setuju dengan ‘Jalan’ yang ditempuh mereka untuk memperjuangkan ‘hak rakyat’, dengan demonstrasi, yang di mataku identik dengan ‘tawuran’, ‘jotos-jotosan’, ‘ontok-ontokan’, aku bernafas berat, apakah perubahan akan terjadi dengan cara berteriak dan berorasi dengan megaphone, aku gak ngerti jalan pikiran mereka, aku belum paham (dasarnya aku ini lemot!itu kata mereka, he), mereka bilang, ‘Aksi turun jalan, demonstrasi itu adalah jalan untuk bersuara, supaya aspirasi kita terdengar, orang yang tidak mau turun jalan bukan pahlawan namanya’, hmm… kalimat itu menohok persis di pusat perasaan. Seorang kakak senior akhirnya menengahi perdebatan kami, memberikan kami wacana, ‘Aksi itu ada banyak, bisa dengan turun jalan ataupun aksi intelektual, yang turun jalan, bisa berorasi dan berteriak agar maksudnya terdengar dan tersampaikan, sedang aksi intelektual, bisa dilakukan dengan tulisan, entah karya tulis, artikel dan setiap orang mempunyai hak untuk memilih mana jalan yang ia tempuh, dan orang lain tidak bisa memaksakan kehendaknya’.
‘Aksi bukan pergerakan kawandh, aksi adalah salah satu bagian dari pergerakan, kegiatan aksi bukan hanya terfokus pada perubahan secara frontal saja, tapi ketika mahasiswa bergerak sekarang untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik dari sebelumnya di masa yang akan datang’. Beberapa hari setelah perdebatan di Rausyan Fikr, seorang teman datang padaku, minta maaf dan berkata, ‘Aku bukanlah kamu, kamu bukanlah aku, dan kamu atau aku bukan mereka ataupun sebaliknya, dan aku akan egois jika memaksakan kehendakku pada kamu’. Aku bernafas lega, segan, sungkan bercampur senang, benar katamu kawan, perbedaan itu memang indah, seperti es krim yang mempunyai banyak rasa, vanilla, strawberry, mocca, coklat, dll.
Bersama merekalah, aku mendapatkan banyak sekali tambahan ilmu, kujejalkan dalam otakku, kami diajari untuk peduli pada rakyat yang dibawah, kami bahkan tergabung dalam ‘Sekolah Rakjat’, pergerakan kami diantaranya adalah datang ke sebuah SD di sebuah tempat terpencil di Songgoriti, tempatnya jauh dan medannya sulit, mereka kekurangan tenaga pengajar juga siswa, jauh sekali dengan yang di kota, mereka bahkan menyanggah dan mencibir, bagi mereka pendidikan gratis tidak berlaku, ‘Tidak boleh ada harga untuk ilmu, karena apabila ilmu tidak diwariskan, maka peradaban akan terhenti’.
Berikutnya, kisah tentang ‘Politik dalam Kampus’, ahh…ini pasti tentang Pemilwakan?That’s right!, aku tidak bisa bercerita banyak mengenai hal ini, karena aku sama sekali tidak menyukai dan berkecimpung di dalamnya, yah…awalnya seperti Soe Hok Gie, “Politik adalah sesuatu yang kotor seperti lumpur…”, blok dan kepentingan-kepentingan, namun aku tetap menghormati mereka yang memilih terjun ke politik, lanjutan dari kata Gie juga, “….namun saat sudah tidak ada jalan lain, maka terjunlah”. Masih banyak kisah, namun akan jadi buku nantinya kalau semuanya kuceritakan.
Walaupun banyak cobaan melanda, berita miring mengenai kami, selubung atmosfer persaudaraan yang kadang terasa menipis karena terpaan badai yang terlalu keras, membuat ulu hati terasa terajam dan tertohok tepat di sasaran, menimbulkan rasa kecewa, pikiran yang sering mencapai titik jenuh, entah kenapa mereka tetap tergantung dalam pikiranku, rasa kangen dan kagum terus berdecak dalam mataku, menari-nari lincah, dan rasa syukur yang selalu terucap, karena kemanapun aku pergi dan berpetualang, terseok-seok jalan, mereka akan selalu ada disana, dimana aku bisa pulang kapan saja, disambut dengan senyum renyah ala crispy, walaupun ancaman penggusuran rumah kami sedang mengancam, tempat itu akan selalu terasa nyaman bagiku, karena disanalah, pertama kalinya, aku diajari dan belajar banyak hal yang sebelumnya terlalu takut untuk aku lakukan, karena mereka memberikan lebih dari apa yang saudaraku sedarahku sendiri pernah beri, sejauh apapun aku melangkah dan pergi, akan selalu terpajang dalam mataku, pesan singkat dari seorang saudara kecil, ‘…Sejauh-jauhnya pergi, jangan lupa sama rumahmu sendiri’, di mataku mereka akan selalu menjadi pahlawan kecil yang memilih AKSI TURUN JALAN SEBAGAI JALAN DAN BUKAN PILIHAN. Mantepkan.
Green House 114 B, Kertoasri, Malang, will be my lovely place to go home for everlasting.
* Nama bukan nama sebenarnya.
* Terselesaikan, Jumat, 17 Juli 2009, pukul 12.25 WIB, di atas sebuah kasur disamping tivi channel liputan6 SCTV yang sedang nonstop menyiarkan berita soal ‘Meledaknya Bom di Mega Kuningan’, Ritz Carlton.
* Meresapi belaian angin yang menjadi dingin.
Kesalahan sepenuhnya ada di penulis, menerima kritik. Sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik-Nya.
...YAKUSA...
Wassalamu 'alaikum wr.wb.
Aulia Rahmawati
Email : chloelaw.madioen@gmail.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)