Pengalaman Pribadi
Oleh: Ulfah Nurrahmani
Saya pernah menulis tentang pekerjaan di sebuah milis. Ketika itu dipantik oleh seorang teman yang merasa belum mendapatkan apa-apa setelah dua tahun kuliah. Get nothing padahal setiap hari (kecuali hari libur) dia datang dan duduk di bangku kuliah, namun tak jua ia merasa mendapat ‘sesuatu’ yang menurutku berkaitan dengan pasca kuliahnya alias pekerjaan.
Seperti juga sekolah, bekerja juga menjadi suatu keharusan dalam menjalani perjalanan hidup manusia. Ketika seseorang dikatakan sudah dewasa, ada semacam tuntunan alam yang menyuruhnya untuk mencari uang demi memenuhi kebutuhannya. Terlebih ketika ia sudah berani menikah, menjadi suami, menjadi istri, tuntutan untuk bisa hidup dengan kakinya sendiri semakin besar. Ditambah dengan kehadiran anak, bekerja adalah keharusan. Juga sebuah kelumrahan.
Mau bekerja dimana?
Menjadi pegawai negeri sipil?
Saya jadi ingat teman-teman saya yang kuliah di STAN, STIS, perguruan tinggi milik negara yang ketika nanti lulus langsung bisa diangkat menjadi pegawai negeri. Save player orang bilang begitu. Enak to. Kuliah Cuma 3 tahun kemudian pra jabatan dan langsung dapat gaji sebagai pegawai negeri. Cocok bagi yang ingin segera menikah, karena di zaman kayak gini banyak orang tua yang ingin mendapat menantu orang yang ‘mapan’. Kerjanya di tempat ber-uang lagi.
Yang sentiment dan ga suka dengan bau-bau pegawai ngeri, kata guru sma saya dahulu, pasti akan menyerampah dengan pns-pejabat eselon-pegawai structural itu. Pemakan uang rakyat, atau apalah semacamnya.
Pengalaman bapak saya sendiri, yang bekerja di struktural (pegawai kantoran, bukan guru dan dosen) sering mbolos sakkepenake dhewe. Tanpa ada rasa bersalah.
La mau gimna? Di kantor sering tidak ada pekerjaan, karena bapak saya tidak suka megang proyek (upaya menghindar dari praktek KKN, katanya). Ya udah.
Sama juga ketika saya dahulu mencari data untuk penelitian di beberapa departemen. Para pegawainya datang jam 8 kemudian apel duduk di kantor mbaca Koran. Jam 12 makan siang. Jam 2 pulang. Gaji tetap setiap bulan.
Menjadi pebisnis?
Sudah sejak dahulu saya kagum dengan sosok pengusaha. Keren, kayaknya. Dan memang kenyataannya begitu. Beberapa saat yang lalu saya asyik berkecimpung di dalamnya.
Kesan saya Cuma satu. Sulit. Apalagi saya yang tidak punya back ground dagang atau bisnis. Saya pikir, lebih sulit jadi pengusaha daripada mendaftar jadi dokter atau mahasiswa STAN atau STIS tadi.
Sedikit itung-itungan. pns gajinya berapa to? Selama hampir 25 tahun ibu saya menjadi guru, gajinya naik sekitar 50 ribu per bulan. Ra cucok dengan kerja kerasnya. 25 tahun jadi pegawai gajinya Cuma 2 jutaan.
Sedang di dunia bisnis? 2 juta bisa diraih dalam hitungan detik, jika sudah capable.
Itu lah bedanya. Yang menjadikan pengusaha itu sulit. Ya karena hadiah yang akan di dapat juga banyak.
Selain itu?
Kebebasan. Jelas ini idaman setiap orang. Bebas melakukan apa-apa, menentukan jalan hidup, bebas mengatur waktu, bebas berpendapat, tanpa harus takut gajinya berkurang atau turun jabatan. Itulah kelebihan dari para pengusaha itu. Pebisnis, pedagang atau apalah.
Jadi dokter?
Hem, sedikit bercerita saja. Kebetulan saya orang kedokteran. Jadi sedikit tahu tentang bobrok-bobroknya kedokteran dan rumah sakit. Luarnya sih kelihatan bagus. Tentang kemanusiaan. Tapi dalamnya juga banyak terjadi anti kemanusiaan. Cerita ’orang miskin di larang sakit’ ternyata sudah menjadi hal yang biasa.
Mau tahu? Berapa uang masuk kedokteran? 100juta bukan jumlah yang banyak untuk bisa masuk kedokteran. Jadi jangan heran jika tarif dokter juga mahal. Bahkan ada seorang dokter yang bercerita bahwa ketika mau menjadi spesialis, harus sudah memasok uang 200juta. Sebagai jaminan katanya.
Ada juga cerita ketika ayah saya operasi. Ayah saya akan dikeluarkan dari ruang operasi jika ibu saya sudah membayar kontan uang operasi. Padahal posisi ketika berada di ruang bedah dan bukan di depan ruang admnistrasi.
Ah, jika ingin mencari jelek-jeleknya pekerjaan, pasti tulisan ini akan berpuluh-puluh halaman. Itulah dunia. Realita saat ini.
Saya bukan orang yang suka menjelek-jelekkan ini atau itu. Semua ada baik buruknya. toh, pekerjaan itu Cuma sebuah pilihan hidup. Pekerjaan itu Cuma sebuah kendaraan hidup. Ya sama lah dengan ketika kita memilih indosat, telkomsel dan yang sejenisnya itu.
Saya pikir, langkah yang harus kita ambil tahu betul profile pekerjan yang akan kita pilih. Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung. Atau berdalih ’yang lainnya juga begitu’.
Selanjutnya, membuat spektrum kebaikan yang paling mungkin dilakukan di tempat pekerjaan. Dengan apa? Dengan mengagungkan akhlak.
Ulfah Nurrahmani
Email : ul_zxcv@yahoo.com
Blog : healthisbeneficial.multiply.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)