Pengalaman Pribadi
Oleh : Riyawati
Pada awal Juli tahun 2005 aku liburan ke Pulau Dewata alias Bali. Pulau seribu pura ini benar-benar pulau yang sangat indah hingga tak memakan waktu lama untuk bangkit setelah bom Legian 2002. Aku pun berkesempatan mengunjungi pantaai-pantai yang terkenal karena keindahannya. Pantai yang tak bisa kulupakan adalah pantai Kuta. Aku bahkan empat kali datang ke pantai ini. Selain menikmati keindahan pantainya juga melihat turis asing yang sangat gembira setelah berselancar dan berhasil mengalahkan ombak. Di pantai Matahari Terbenam inilah aku mengalami sebuah peristiwa yang takkan kulupakan.
Seorang teman di Renon, Denpasar meminjami kami (aku ke Bali bersama dengan seorang teman dari Semarang) sepeda motornya. Akhirnya, kami pergi ke Kuta naik sepeda motor. Tak begitu jauh perjalanan ke Kuta. (Kalau naik bemo bisa ditempuh dua kali dari Matahari Denpasar yaitu naik bemo jurusan Sanur – Tegal turun di Jl. Imam Bonjol. Dari sini naik bemo jurusan Batu Bulan – Kuta – Tegal. Sudah deh sampai di Kuta) Kami parkirkan sepeda motor itu di tempat sepeda motor lain parkir. Setelah itu, temanku celingukan cari tukang parkir. Tak ada tukang parkir yang kami temukan. Akhirnya, kami bertanya ke seseorang yang kebetulan baru saja memarkirkan sepeda motornya.
“Pak, tukang parkirnya dimana, ya?” tanyaku.
“Tukang parkir? Tak ade tukang parkir di sini, Mbak,”jawabnya dengan logat khas Bali.
Aku dan temanku saling berpandangan tak percaya. “Amankah?” aku bertanya-tanya dalam hati.
Kemudian dengan was-was kami meninggalkan sepeda motor itu. Kami berjalan ke pantai. Sudah banyak turis local dan asing yang sedang menikmati keindahan pantai Kuta. Pasir pantai Kuta terlihat kotor dengan ombak yang tak putus-putus menyapa pantai. Kami, seperti halnya wisatawan local, adalah wisatawan pasif dalam artian kami ke Kuta hanya sekedar untuk melihat pantai tanpa melakukan olahraga yang berkaitan dengan pantai. Tidak seperti wisatawan asing yang sedang bergembira karena berhasil menaklukan ombak dengan papan selancarnya. Kami benar-benar menikmati Bali hanya dengan melihatnya. Pelan-pelan semburat kemerahan terlihat di ufuk barat sana, matahari pun lingsir dari tahtanya. Pemandangan yang indah pun tercipta. Keindahan tiada tara yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, kecuali “Subhanallah.”
Pk 07.00 WITA kami putuskan untuk balik ke Denpasar. Perasaan kami was-was dengan nasib sepeda motor yang kami tinggal begitu saja. Ketika kami sampai di tempat parkir motor itu, perasaan was-was itu pun hilang. Sepeda motor itu masih utuh di tempatnya. Tak hilang meski tak ada tukang parkir yang menjaganya.
Hal ini kemudian menjadi bahan renunganku. Kubandingan keadaan ini dengan keadaan di Jawa tepatnya Semarang, kota dimana aku tinggal. Di Semarang seperti halnya di kota-kota lain, sepeda motor ditinggal sepuluh atau lima belas menit untuk makan bisa hilang diembat maling. Atau ditinggal lima menit untuk fotokopi, sepeda motor itu pun dengan sukses berpindah tangan tanpa melalui transaksi penjualan. Tapi di Bali keadaannya benar-benar berlawanan. Sepeda motor ditinggal seharian takkan hilang apalagi hanya sepuluh atau lima belas menit atau satu atau dua jam. Di sini benar-benar aman. Kalaupun ada pencuri, pelakunya biasanya bukan orang Bali asli, tapi orang pendatang.
Pertanyaan kemudian mencuat dalam pikiranku, orang-orang Bali kebanyakan tidak muslim tapi kelakuan mereka melebihi orang-orang Islam karena banyak pelaku pencurian baik di Jawa atau di Bali adalah muslim. Apa yang sebenarnya terjadi dengan orang-orang kita hingga pencurian yang kalau hukum Islam diterapkan hukumannya potong tangan tetap mereka lakukan?
Riyawati
Email : riyawati_md@yahoo.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)