Pengalaman Pribadi
Oleh : Johan Bhimo Sukoco
Minggu sore itu kusengajakan diri menjelajahi Kota Solo. Niatan mencari kado yang tepat untuk Ibu, kurasa perlu untuk segera direalisasikan. Kuputuskan untuk membeli kerudung. Sebenarnya, ada keinginan memberinya blender. Aku tahu benar, blender di rumah rusak dan Ibu sering mengeluhkannya. Apalagi beberapa gigi depan wanita ini sudah mulai patah dan tak kuat lagi mengunyah makanan yang terlalu keras. Tapi apa daya, uang tabunganku tak mencukupinya. Apalagi statusku sebagai anak kost, tentu harus pandai menekan budget.
Hunting kuawali dari rumah kerudung terdekat di belakang kampus. Tutup. Kutinggalkan toko itu dan kuarahkan motorku tak menentu. Aku tak begitu tahu-menahu pertokoan kerudung di Kota kecil ini. Logisnya, karena aku lelaki. Kupacu saja motorku sesuai felling. Melewati jalanan kecil hingga kampung Kalitan. Sialnya, tiba-tiba hujan menghujamku tanpa kompromi. Kupepetkan motor ke sebuah emperan toko. Berteduh di bawahnya. Tak lama berselang, Adzan Ashar memanggilku kuat-kuat. Kusempatkan diri sembahyang sejenak di masjid komplek keluarga Soeharto itu, seraya menunggu hujan reda.
Hujan mulai reda, dan kuputuskan untuk mengambil kendali ke arah Jalan Slamet Riyadi. Asumsiku disitu banyak pertokoan besar. Terus, terus, dan terus melaju hingga mentok ke Pusat Grosir Solo atau lebih di kenal PGS. Hatiku menuntun untuk masuk. Aku pun masuk. Di sana memang banyak beraneka busana, termasuk kerudung yang kucari.
Bermulai dari lantai dasar kelantai berikutnya. Hingga akhirnya mataku tertuju pada kerudung dengan tipe panjang. Ibu pasti anggun jika memakainya. Agak bimbang juga apakah akan ku pilih motif batik itu atau tidak. Pasalnya, koleksi kerudung beliau di rumah cukup banyak. Takutnya sama motif dengan yang kuberikan nanti. Kutekadkan hati untuk memilih motif itu, setelah berdialog kecil dengan penjualnya yang ramah. Agaknya dia tahu keterbatasanku sebagai lelaki. Setelah tawar-menawar dengan empu penjual, akhirnya sampai pada titik kesepakatan. Dengan senyum kepuasan, aku pulang. Mendung masih menggelanyut Kota ini, tapi untung hujan tak lagi deras menyapaku. Rintihannya masih tersisa walau sebatas gerimis.
Di kamar kost. Kukemas kerudung batik itu dengan kertas kado yang sempat kubeli. Dengan kemasan seadanya, bahkan lebih mirip bungkus permen yang hanya di putar asal di kedua ujungnya. Pantas saja, aku tak biasa melakukannya. Kado telah siap. Selasa nanti Ibu ulang tahun. Tak mungkin aku bisa memberikan kado ini langsung padanya. Jadwal kuliahku mulai senin nanti amat sangat padat.
Terlambat dua hari aku memberikannya pada Ibu. Agak kecewa juga. Tapi tak mengapa, karena di malam harinya telah sempat kuucapkan selamat ulang tahun padanya di balik ponsel. Gerimisnya malam di kost terasa menusuk igaku saat Ibu menerima teleponku di Apotik. Aku tahu dimana posisinya sesaat setelah berucap salam. Perempuan ini menderita hipertensi . Tekanan darahnya labil. Ah, semoga masih tersisa waktu untuk memberikan kado ini padamu, Mom.
Mundurlah wahai waktu
Ada selamat ulang tahun
Yang tertahan tuk kuucapkan
Yang harusnya tiba tepat waktunya
Dan rasa cinta yang s’lalu membara
Untuk dia yang terjaga menantiku
(Selamat ulang tahun-Dewi Lestari)
Kamis sore aku pulang ke rumahku di Sragen. Rumah yang besar, tapi tersimpan kesunyian di dalamnya. Hanya ada Ibu dan Bapak. Itu pun kalau bapak tidak kerja lembur di kantor. Kakak sulungku telah merantau di pulau penjara. Kasihan juga melihat Ibu yang selalu berkawan sepi. Aku benar-benar merindukan tempat ini.
Kulihat dari depan pintu Ibu tersenyum hangat menyambutku.
Pelukan dan ciumannya sekonyong-konyong menyambut kedatanganku. Seakan-akan tak bertemu Sang anak setahun lamanya. Padahal baru dua minggu aku diperantauan. Jarak Sragen-Solo yang hanya satu jam sedikit banyak memang memisahkan kerinduanku dengan rumah. Kadang seminggu...kadang dua minggu...atau paling lama tiga minggu, aku baru sempat bergumul dengan keluarga kecil ini.
“Wah..ini obat bagi Mama, Nak,” sorak beliau terkejut saat kuserahkan kado bersampul tak beraturan itu.
Ibu tak sanggup berkata-kata lagi. Kulihat jelas ada setitik haru di matanya.
Sebuah kado yang penuh dedikasi untuk seorang Ibu. Kau tahu apa isinya? Tiga elemen dasar yang menjadikannya ada. Sehelai kerudung, secarik kertas ucapan, dan dibalut kertas kado. Ditambah dua elemen pendukung berupa kasih sayang dan ketulusan hati.
Untuk pertama kalinya aku memberikan kado pada Ibu. Pantas saja jika Beliau terharu.
Seminggu setelah kejadian itu. Sepulang dari periksa rutin dokter, Ibu tersenyum manis padaku seraya berkata, ”Tekanan darah Mama mulai mendekati stabil, nak. Terima kasih, ya!”. Beliau menambahkan bahwasanya ini semua berkat kado kejutan yang aku berikan.
Aku membalasnya dengan puji syukur. Harga Kado kecil yang tak seberapa itu ternyata mampu membuat perubahan besar pada kesehatan Ibu. Agh, Ternyata obat itu berasal dari kasih sayangku untuknya.
Kupersembahkan khusus teruntuk Ibu, yang tak perlu tahu kisah ini.
Mudah-mudahan di 23 Desember nanti,aku tak terlambat lagi mengucapkannya padamu. Semoga.
Johan Bhimo Sukoco
Email : johanbhimo@yahoo.co.id
Blog : porospemburu.blogspot.com
Phone: 085642317178.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)