Hotel Borobudur Jakarta, 13 Oktober 2010
Oleh : Tarjum
Saya terlambat datang ke lokasi seminar di Hotel Borobudur, Jakarta (Rabu, 13 Oktober 2010), karena terjebak kemacetan jalanan Jakarta. Turun dari metro mini di Atrium Senen, saya naik bajaj menuju hotel Borobudur. Kenapa pilih bajaj? Ya, biar gak macet, bajaj kan kayak motor bisa lincah selap-selip diantara padatnya jalanan Jakarta. Ada alasan lain sih sebenarnya, kalau naik Taxi, saya khawatir dibawa muter-muter, trus nanti tarifnya mahal….he..he…ngirit ongkos.
Sampai di hotel Borobudur yang megah, sekitar jam 09.30 WIB. Saya langsung masuk dan mencari ruang Flores, tempat seminar berlangsung. Setelah registrasi, saya segera masuk ke ruang seminar. Seminar sudah dimulai, seorang pembicara sedang menjelaskan topik bahasannya. Peserta seminar ternyata cukup banyak, saya perkirakan sekitar 100-an lebih. Peserta seminar barasal dari beragam kalangan: psikiater, professional kesehatan dan kesehatan jiwa, pemangku kepentingan dan para pemerhati masalah kesehatan jiwa. Semua kursi terisi penuh, bahkan ada kursi tambahan di barisan paling belakang. Di jejeran kursi belakang itulah saya duduk.
Materi yang disampaikan para pembicara sangat menarik dan membuka wawasan saya tentang apa dan bagaimana usaha-usaha yang telah, sedang dan akan dilakukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa kepada masyarakat dalam sekala local dan nasional, yang tentunya menyangkut kebijakan para pengambil keputusan dan pemegang kekuasaan. Pelayanan kesehatan jiwa juga bukan hanya tugas para psikiater dan praktisi kesehatan mental tapi merupakan tugas elamen-eleman masyarakat lain yang saling terkait satu sama laini.
Seminar ini diselenggarakan oleh Seksi Psikiatri Komunitas PDSKJI dengan tema “Mainstreaming Community psychiatry: Addressing and Promoting Population-Based Needs for Mental Health Programming”.
Sambil mendengarkan pembicara seminar, saya perhatikan seorang pria yang saya kenal, yang duduknya persis di depan saya. Dia sedang asyik mendengarkan pembicara seminar sambil sesekali memainkan tombol-tombol laptopnya. Tak salah, dia pria yang sudah saya kenal baik walaupun kami belum pernah bertatap muka langsung. Saya sudah kenal lama dengannya di dunia maya.
Beberapa saat menjelang coffee break, sekitar jam 11.00, pria di depan saya tadi berdiri dan menggendong renselnya. Saat dia membalikan badan, saya menyapanya, “Kang Anta ya?”
“Kang Tarjum?” dia tampak kaget. Wah, akhirnya datang juga ya ke sini!” wajahnya tampak sumringah dengan senyumnya yang menawan dan sorot matanya tampak berbinar-binar.
Kami berjabat tangan dengan erat. Pertemuan dua orang sahabat online di dunia nyata sungguh membahagiakan. Dialah Anta Samsara, penulis buku psikomemoar “Gelombang Lautan Jiwa”. Dia seorang ODS (Orang dengan Skizofrenia) yang sangat aktif dan gigih bersama rekan-rekannya membantu ODS lain dan keluarganya melalui organisasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) dan Komunitas Peduli Sekizofrenia Indonesia (KPSI).
Saat coffee break, Anta Samsara memperkenalkan saya kepada rekan-rekannya satu persatu, diantaranya : Yeni Rosa Damayanti (Ketua Umum PJS), dr. Hervita Diatri Sp.KJ, dr. Natalingrum Sukmarini, Sp.KJ, dr. Eka Viora, Sp.KJ, Bagus Utomo (Pendiri KPSI), dr. Tika Prasetiawati, Sp.KJ, Rhino Ariefiansyah, Fanni dan Nawa Tunggal (KPSI). Dan banyak lagi yang lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu disini. Pokoknya saya diperkenalkan kepada para profesional dan aktivis kesehatan jiwa yang punya kepedulian tinggi terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa. Mereka semua orang-orang yang punya pengetahuan dan wawasan yang luas serta pemahaman yang mendalam tentang seluk-beluk kesehatan jiwa. Saya beruntung bisa kenal dan bertemu dengan mereka. Dari teman-temannya saya tahu, kang Anta orang yang supel dan punya pergaulan luas.
Saat ngantri untuk ambil kopi, kang Anta berbisik, “Maaf ya kang, saya orangnya nggak banyak bicara.” Menurut saya sih nggak demikian, dia orang yang supel dan aktif berbicara dengan siapa saja, bahkan dia juga fasih berbahasa Inggris. Beberapa kali ia berbincang dengan Om Bule yang katanya orang Australia dengan bahasa Inggris yang fasih.
Bersambung…..
Lanjutan ceritanya silakan simak pada posting berikutnya yang akan menceritakan diskusi kami disela seminar, tentang pemberdayaan orang-orang yang mengalami gangguan jiwa terutama ODS dan ODB, agar bisa mendiri secara ekonomi.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)