Kondisi mental yang labil, bukan alasan untuk menunda sebuah hubungan
Oleh Tarjum
Jangan iri ya, lihat foto ini, terutama bagi teman-teman yang belum punya pacar atau belum menikah..:)
Ini foto saya, istri dan putri kedua kami, Rahma.
Maaf, bukan saya mau pamer foto pribadi. Bukan pula mau sok mesra atau sok romantis. Saya memajang foto ini dengan sangat ‘pede’ karena ada cerita dan makna dibaliknya yang ingin saya sharing.
Bukankah katanya foto itu mewakili seribu kata. Dengan memperhatikan foto ini, anda sudah bisa memahami maknanya, tentang keluarga, cinta dan kasih sayang.
Saling Memahami dan Saling Menerima Kekurangan
Hidup bahagia dengan orang-orang yang dicintai adalah harapan semua orang, termasuk anda dan saya tentunya. Namun, untuk mewujudkan harapan itu butuh ketekunan, kesabaran, kegigihan, pengendalian ego, sikap lapang dada dan kemampuan mengelola konflik. Proses untuk saling memahami antara dua orang yang berbeda karakter dan latar belakang, merupakan proses tanpa akhir.
Ketika saya baru pulih dari gangguan bipolar, saya suka merasa psimis dan khawatir, dengan kondisi mental yang masih labil, bisakah saya menjalin hubungan dengan seseorang? Bagaimana jika nanti setelah menikah dan punya anak, saya mengalami tekanan mental? Bisakah nanti saya mengatasinya?
Namun, setelah saya jalani, kekhawatiran itu ternyata berlebihan. Tidak seburuk seperti yang saya bayangkan. Segalanya berjalan alami saja, mengalir seperti air yang mengikuti alurnya. Kalaupun ada percikan-percikan masalah, itu masih bisa diatasi bersama. Kami berusaha saling terbuka, saling memahami dan saling menerima kekurangan masing-masing.
Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Masalah akan selalu ada. Namun jika disikapi dengan positif, masalah bisa menjadi media pembelajaran dan perbaikan diri. Saat pacaran, sesudah menikah sampai punya anak, kami sering berbeda pendapat.
Kami juga pernah terlibat pertengkaran. Setiap keluarga pasti pernah mengalami perselisihan atau pertengkaran. Itu sesuatu yang wajar dan manusiawi, selama dalam batas-batas yang bisa ditolerir.
Saat marah, kita atau pasangan kita kadang mengatakan kejujuran. Dari sana kita bisa introspeksi diri masing-masing. Tak jarang setelah berselisih pendapat atau bertengkar, kami saling meledek hal-hal yang kami pertengkarkan dan akhirnya saling menertawakan satu sama lain.
Kami sadar, semua itu adalah proses yang harus dilalui selama kami menjalani hubungan dan mengarungi bahtera rumah tangga. Apa pun yang terjadi di perjalanan, kami berusaha mengatasinya bersama dan tetap fokus pada tujuan kami, membangun keluarga yang harmonis, bahagia dan sejahtera.
Proses untuk saling memahami ternyata tak sesederhana teorinya. Kadang saya tak faham apa yang diinginkan istri. Kadang saya juga keliru menafsirkan keinginannya.
“Papah gak ngerti juga sih, aku tuh inginya gini, bukan gitu,” kata istri suatu waktu.
“Mamah gak ngomong, gimana papah bisa ngerti?”
“Masa sih yang kayak gitu aja papah gak ngerti.”
Ada saat ketika pasangan kita ingin dimengerti tanpa dia harus mengatakannya. Kadang hanya dengan bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Di sinilah perlu kepekaan untuk bersusaha memahami keinginannya.
Jangan Berpikir untuk Mengubah Pasangan Anda
Saya pernah membaca sebuah pesan dalam sebuah artikel. Pesan yang saya baca saat saya masih pacaran ini, masih saya ingat sampai sekarang. Pesannya begini, “Jangan pernah berpikir untuk mengubah karakter pasangan anda, karena anda tak akan bisa mengubahnya.”
Awalnya saya tidak yakin dengan pesan ini. Masak sih saya tak bisa mengubah karakter pasangan saya. Setelah saya menikah dan menjalani kehidupan rumah tangga, saya baru percaya kebenaran pesan ini.
Sebenarnya masyarakat Sunda (Jawa Barat) punya peribahasa yang sangat populer yang maknanya hampir sama dengan pesan di atas. “Adat kakurung ku iga (karakter terkurung tulang iga)” artinya, sangat sulit merubah karakter seseorang. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha memahami dan saling menyesuaikan diri dengan karakter pasangan kita.
Kunci untuk saling memahami adalah komunikasi yang inten dari waktu ke waktu. Saling terbuka untuk menyampaikan harapan, keinginan dan keluhan masing-masing. Dari sana akan tumbuh rasa saling memahami dan saling pengertian. Menerima kelemahan dan kekurangan masing-masing dengan tulus. Tidak menuntut sesuatu yang akan memberatkan pasangan. Lalu berusaha melakukan yang terbaik untuk pasangan. Saling memahami, saling menerima dan saling memberi.
Atasi Kekhawatiran yang Berlebihan
Bukan hanya saya, ternyata banyak juga teman-teman yang mencemaskan kondisi psikologisnya dan menahan diri untuk menjalin hubungan dengan seeorang. Saya bisa memahami apa yang mereka khawatirkan. Itu hal yang wajar.
Namun, seperti yang saya paparkan di atas, kekhawatiran itu sebenarnnya berlebihan. Kekhawatiran itu tak seburuk kenyataannya. Beberapa orang teman yang pernah curhat di blog ini membuktikan hal itu.
Salah satunya diceritakan dengan sangat menyentuh oleh Sati (nama samaran), perempuan luar biasa yang dengan sadar berkomitmen untuk menjalin hubungan serius dengan pria ODS. Mereka berdua akhirnya menikah dan hidup bahagia. Berikut salah satu penggalan curhatnya berjudul “Hidup Bersama ODS Membuat Hidupku Lebih Berwarna”.
Sati mengutif pertanyaan kekasihnya :
“Yakinkah aku untuk menikah dengannya, tidakkah aku takut, bagaimana jika suatu saat ia tidak mampu mancari nafkah, bagaimana jika ia harus minum obat seumur hidupnya, apakah aku sanggup mendampinginya seumur hidup, ataukah dia hanya pantas menikah dengan seorang ODMK (orang dengan masalah kejiwaan) juga?”
Apa jawaban Sati?
"Allah itu adil Mas, Dia mempertemukan kita, mungkin sudah takdir seperti itu. Siapapun di dunia ini, punya hak yang sama untuk mencintai dan dicintai, juga berhak untuk mendapat kebahagiaan, termasuk kita. Soal rejeki, Allah udah atur, ga akan ketuker yang penting kita berusaha semampu kita."
Teman Berbagi, Pemberi Dukungan dan Dorongan Semangat
Kadang kita terlalu khawatir, pasangan dan keluarga (istri/suami dan anak) menjadi tanggung jawab yang akan membebani hidup kita. Kita berpikir bahwa pada saat tertentu mereka akan menambah beban mental bagi kita. Dan disaat kondisi mental kita sedang labil kita berpikir mereka akan menambah tekanan.
Pemikiran tersebut memang tidak sepenuhnya keliru. Tapi, terlalu memposisikan pasangan atau keluarga hanya sebagai beban, rasanya tidak adil. Di satu sisi memang mereka menjadi beban tanggung jawab kita. Tapi di sisi lain, meraka merupakan teman berbagi yang bisa meringankan beban psikologis kita. Mereka bisa menghibur, memberi dukungan dan dorongan semangat untuk kita.
Mereka adalah orang-orang terdekat kita yang bisa lebih memahami kita dibanding orang lain. Mereka orang-orang yang mau menerima diri kita apa adanya. Termasuk saat kita sedang tertekan, bahkan saat kita sedang terpuruk sekalipun.
Jadikan Kondisi Mental sebagai Motivasi untuk Memperbaiki Diri
Jadi, menurut saya kondisi mental yang belum stabil bukan alasan untuk menunda sebuah hubungan. Sebaliknya kondisi itu seharusnya menjadi pemacu semangat dan motivasi untuk memperbaiki diri dalam menjalani sebuah hubungan yang penuh warna, nilai dan makna dengan orang yang anda cintai.
Jangan cemas atau ragu, jadilah diri-sendiri. Sampaikan isi hati kepada orang yang anda cintai dengan penuh percaya diri. Jangan menunggu segalanya sempurna. Karena anda akan terus menunggu dan tak akan pernah memulai. Lakukanlah apa yang ingin anda lakukan dengan penuh keyakinan. Perbaiki jika ada kesalahan.
Jangan lupa berdo’a memohon petunjuk-Nya, agar Tuhan memberikan yang terbaik untuk anda.
Sang Fotografer
Oh ya, sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin memperkenalkan sang fotografer yang mengambil foto romantis ilustrasi artikel ini. Fotografernya adalah putri sulung kami, Vania.
Dia memotret kami dengan kamera HP. Foto ini dibuat spontan beberapa hari yang lalu. Saat difoto, saya bahkan masih berkeringat sehabis bersih-bersih rumah. Tadinya saya dan istri mau bergaya berdua, eh si kecil Rahma, nimbrung, ingin ikut difoto juga.
Itulah sharing pengalaman dan pemahaman saya tentang keluarga, cinta dan kasih sayang. Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika anda punya pengalaman yang unik dan menarik tentang cinta dan keluarga? Silakan berbagi di komentar atau kirim ke editor Curhatkita.
Jika menurut anda posting ini cukup menarik dan bermanfaat silakan share di twitter atau facebook. Jika mau berlangganan artikel blog ini melalui email, silakan subscribe disini.
Tarjum adalah pendiri dan editor Curhatkita, Forum Curhat, Grup Teman Curhat dan Solusi Bipolar Facebook. Penulis buku psikomemoar "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah". Anda bisa kenal lebih dekat dengan Tarjum di sini dan ikuti Tarjum di Facebook dan Twitter.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Mas Tarjum sekeluarga, saya salut dan kagum atas cinta yang telah anda deskripsikan di media ini. Saya yakin, masi banyak ODS yang merasa rendah diri, ga PD ato ragu2, namun dengan sharing, itu bisa mengurangi setengah beban kita! Thanks for sharing, Tuhan berkati kita semua. Hidup sehat jiwa dan raga!
Anonim,
Makasih atas kunjungan dan apresiasi positifnya. Dengan sharing kita bisa saling belajar dan saling memberi dukungan. Bukankah Tuhan mengajurkan kita untuk mengamalkan ilmu yang kita miliki :)
Salam Sehat Jiwa.
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)