BUKU: 2 KUTUB

Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata penulisnya. Mengupas secara detail dan sistematis dari gejala awal gangguan bipolar, saat berada di puncak manik dan depresi, sampai langkah-langkah pemulihannya. Inilah buku “2 KUTUB: Perjalanan Menantang Di Antara Dua Kutub”.

Info Buku >> KLIK DISINI

Sakit Jiwa = Aib?

    

Oleh : Tarjum


Penyakit jiwa, sampai saat ini masih dianggap sebagai penyakit yang memalukan, menjadi aib bagi si penderita dan keluarganya. Masyarakat kita menyebut penyakit jiwa pada tingkat yang paling kronis, seperti hilang ingatan, dengan sebutan yang sebenarnya sangat kasar seperti: sinting, otak miring atau gila (istilah yang menurut seorang psikolog sudah tidak dipakai lagi dalam dunia psikologi) serta sebutan-sebutan kasar lainnya. Yang lebih menyedihkan, orang yang sakit jiwa, yang sering kita temui di keramaian atau dijalanan, oleh masyarakat kita dianggap sebagai, meminjam istilah Irwanto, Phd, “sampah sosial” yang kotor dan hina. Lihat saja kenyataan, orang-orang—mungkin termasuk kita sendiri—jika melihat atau berpapasan dengan orang yang sakit jiwa, dengan sepontan akan menertawakan, mencemooh, memaki-maki bahkan melemparinya. Menganggap orang yang sakit jiwa sebagai mahluk kotor, rendah dan hina, bahkan mungkin dianggap lebih hina dari hewan.

Mengapa masyarakat kita menganggap dan memperlakukan orang-orang yang sakit jiwa seperti itu? Bukankah mereka juga manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang sebelumnya sama mulianya seperti manusia lainnya? Lalu karena suatu hal, suatu musibah, mereka kehilangan kewarasannya, kehilangan akal sehatnya. Setelah itu, pantaskah kita menganggapnya sebagai makhluk hina dan tak berharga? Pantaskah keluarganya, orang-orang terdekatnya dan lingkungannya, menganggapnya sebagai aib?

Apa yang saya ungkapkan di atas adalah persepsi umum masyarakat—yang sebenarnya keliru—terhadap penderita kelainan mental dalam kadar yang paling kronis yaitu hilang ingatan. Persepsi masyarakat terhadap penderita kelainan jiwa dalam pengertian yang lebih luas pun mengarah pada persepsi yang keliru ini.

Menurut Irwanto, Phd, peneliti di Universitas Atma Jaya, Jakarta, “Berbagai bentuk kesalahan sikap masyarakat dalam merespon kehadiran penderita gangguan jiwa terjadi akibat konstruksi pola berpikir yang salah akibat ketidak tahuan publik. Terdapat logika yang salah di masyarakat. Mispersepsi tersebut selanjutnya berujung pada tindakan yang tidak membantu percepatan kesembuhan si penderita. Masyarakat cenderung menganggap orang dengan kelainan mental sebagai sampah sosial. Pola pikir demikian harus didekonstruksi” (Kompas, 27/09/04).

Salah kaprah pengertian dan pemahaman tentang penyakit jiwa ini, mungkin karena ketidaktahuan masyarakat pada masalah-masalah kejiwaan dan kesehatan mental. Ketidaktahuan ini mengakibatkan persepsi yang keliru, bahwa penyakit mental merupakan aib bagi si penderita maupun bagi keluarganya. Sehingga si penderita harus disembunyikan atau dikucilkan, bahkan lebih parah lagi, ditelantarkan oleh keluarganya.

Selain itu, ada anggapan keliru di masyarakat bahwa penderita gangguan jiwa hanya mereka yang menghuni rumah sakit jiwa atau orang sakit jiwa yang berkeliaran di jalanan. Padahal gangguan jiwa bisa dialami oleh siapa saja, baik disadari ataupun tidak. Orang yang tampaknya sehat secara fisik, bukan tidak mungkin sebenarnya menderita gangguan jiwa, dalam kadar yang paling ringan seperti cemas atau stres misalnya.

Sebenarnya apa sih bedanya orang yang sakit jiwa dengan orang yang sakit fisik? Sama-sama menderita sebenarnya! Bahkan derita jiwa jauh lebih berat dan menyiksa dibanding derita fisik yang paling berat sekalipun. Dokter Andrew Slaby, menggambarkan derita jiwa itu begini, “Bayangkan nyeri fisik terhebat yang pernah anda rasakan—patah tulang, sakit gigi, atau sakit bersalin—lipat gandakan sepuluh kali dan bayangkan anda tidak tahu penyebabnya; barulah anda mungkin dapat mengira-ngira seberapa menyiksanya penyakit jiwa itu.”

Bedanya mungkin penyebab dan obyek (bagian tubuh) yang sakitnya. Penyebab sakit fisik, bisa karena menu atau pola makan yang salah dan pola hidup yang kurang memenuhi standar kesehatan. Sedangkan, penyebab sakit jiwa mungkin karena pola pikir yang salah, dalam arti cara menyikapi beragam tekanan mental berat, baik yang datang dari dalam dirinya maupun dari luar atau lingkungannya. Ketidakmampuannya dalam menghadapi kerasnya realitas kehidupan yang melebihi batas kekuatan atau daya tahan mentalnya.

Obyek yang sakitnya pun berbeda. Jika sakit fisik, bagian tubuh yang sakitnya adalah organ-organ tubuh yang bisa dideteksi, bisa dilihat dan diraba oleh panca indra. Sedangkan sakit jiwa, obyek yang sakitnya tidak bisa dideteksi oleh panca indra. Sesuatu yang abstrak, yang hanya bisa dirasakan oleh si penderitanya sendiri.

Kesamaan lainnya, baik penderita sakit fisik maupun sakit mental sama-sama membutuhkan pengobatan, dukungan, perhatian dan dorongan semangat untuk membantu proses penyembuhannya. Penderita kelainan mental bahkan membutuhkan lebih banyak dukungan, perhatian dan kasih sayang dari keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Pertanyaannya, mengapa orang yang menderita gangguan jiwa merasa malu? begitu pula keluarga dan orang-orang terdekatnya. Sedangkan orang yang menderita sakit fisik, termasuk kelurganya tidak merasa malu. Kita sering mendengar ucapan seperti ini, “Anak saya sakit jantung, sekarang sedang dirawat di rumah sakit jantung.“ Mereka tidak merasa malu saat mengatakan itu! Tapi kita jarang sekali mendengar ucapan seperti ini—atau mungkin tidak pernah— “Anak saya sakit jiwa, sekarang sedang dirawat dirumah sakit jiwa.” Tidak banyak orang yang berani berkata seperti itu di depan publik. Dan mereka mengatakan itu mungkin dengan perasaan malu.

“Saat anak saya divonis menderita skizofrenia, saya kaget sekali, rasanya saya ingin marah karena anak saya dianggap gila. Sebab dalam kehidupan sehari-hari dia terlihat normal,” kata Suharjo, orang tua yang anaknya menderita skizofrenia.

“Saya tidak akan menyalahkan dia karena cacar air atau pneumenia,” tapi kalau depresi, itulah yang saya lakukan. Saya menyalahkan anak saya karena menderita penyakit itu—yang membuat saya merasa tidak karuan,” kata seorang ibu yang anaknya menderita depresi.

Itulah ungkapan perasaan dua orang tua yang anaknya menderita gangguan jiwa. Perasaan bingung, kaget, marah dan malu.

Lalu adakah alasan yang logis dan rasional untuk merasa malu karena seseorang atau anggota keluarganya menderita kelainan jiwa? Sama sekali tidak ada! Tidak ada alasan apa pun sebenarnya untuk merasa malu karena menderita gangguan jiwa, ini hanya masalah persepsi.
“Sebenarnya tidak ada alasan yang kuat secara etis untuk melakukan diskriminasi dan perlakuan buruk terhadap penderita kelainan jiwa. Karena pengucilan dan diskrimanasi justru memperburuk kondisi si penderita itu sendiri,” kata Irwanto.

Tempat terbaik bagi penderita kelainan mental bukan di panti rehabilitasi mental atau di rumah sakit jiwa, apalagi ditelantarkan di jalanan. Tempat terbaik bagi mereka adalah berada di tengah-tengah keluarganya, diantara orang-orang yang dicintainya. Yang mereka butuhkan adalah perhatian, pengertian, dukungan, cinta dan kasih sayang. Perhatian dan kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatnya akan sangat membantu proses pemulihan kondisi jiwanya.

Berikut sebuah contoh kasus, bagaimana perhatian dan dukungan keluarga sangat membantu penyembuhan seorang penderita kelainan jiwa yang sudah kronis, bahkan sudah dianggap gila oleh masyarakat di lingkungannya.

Seorang pria paruh baya, bapak dari dua orang putra, menderita kelainan mental berat. Dia, sebut saja DD, sudah kehilangan kewarasan dan akal sehatnya. Sebelumnya DD dikenal sebagai pria pekerja keras dan berwatak keras. Dia berkeinginan menyekolahkan anaknya sampai menjadi sarjana. Karena itu ia bekerja keras membanting tulang setiap hari untuk mencari nafkah. Mata pencaharian sehari-harinya adalah bertani dan berdagang buah-buahan. Menurut salah seorang saudaranya, penyebab gangguan mentalnya adalah keinginannya yang terlalu tinggi melebihi batas kemampuannya. Karena keinginannya tidak kesampaian DD stres, semakin parah sampai akhirnya dia kehilangan akal sehatnya.

Melihat kondisi DD demikian, keluarganya (Istri, anak, saudara dan orang tuanya) tidak tinggal diam, dengan segala cara berusaha mengobatinya. Dari mulai pengobatan alternatif sampai ke “orang pintar” dicobanya. Walaupun semua usaha itu belum menampakkan hasil dan DD belum menunjukan tanda-tanda kesembuhan, keluarganya tidak putus asa. Dengan berbagai cara, terus berusaha untuk mengobatinya, untuk mengembalikan akal sehatnya. Akhirnya si penderita di bawa kepada seorang kyai untuk menjalani pengobatan. Beberapa minggu kemudian tanda-tanda kesembuhan mulai nampak. Sedikit demi sedikit kesadaran DD mulai pulih. Setelah sekitar sebulan lebih menjalani pengobatan di pondok sang kyai tersebut, DD sembuh, kewarasan dan akal sehatnya sudah pulih walaupun belum 100 persen. DD pulang kembali ke tengah-tengah keluarga yang sangat mencintai dan menyayanginya.

Berkat perhatian, cinta dan kasih sayang tulus keluarganya, kondisi kejiwaan DD pulih. Dia bisa kembali menjalani aktivitas sehari-harinya sebagai seorang ayah yang menjadi tulang punggung keluarganya. Pengorbanan yang luar biasa dari keluarga dan orang-orang terdekatnya, baik pengorbanan harta benda, tenaga, pikiran, dan terutama korban perasaan, tidak sia-sia. Dan sekarang putra sulung DD sudah lulus jadi sarjana, seperti yang di impikan DD.

Dari kasus di atas kita bisa mengambil pelajaran dan menarik kesimpulan, bahwa kelainan mental yang kronis sekalipun, apabila diobati dan ditangani oleh seorang yang ahli dibidangnya ternyata bisa disembuhkan. Si penderita bisa kembali menjalani kehidupannya dengan normal. Perhatian, dukungan serta kasih sayang tulus keluarga dan orang-orang terdekatnya sangat penting dalam proses pemulihan dan penyembuhan kondisi kejiwaan si penderita.

Orang-orang sakit jiwa yang sering kita lihat berkeliaran di jalan-jalan, di pasar-pasar dan di keramaian, tentunya mereka juga punya keluarga. Namun, mungkin karena faktor ekonomi, sosial atau faktor lainnya, mereka tidak dirawat dan ditelantarkan oleh keluarganya. Akibatnya, kondisinya semakin parah sampai tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Kalaupun bisa mungkin sangat sulit dan memakan waktu lama. Dan masyarakat pun menganggapnya sebagai manusia hina, kotor dan tak berharga, sampah sosial yang hanya pantas jadi bahan tertawaan, cemoohan dan hinaan. Tragis nian nasib mereka.

Mitos keliru tentang penyakit jiwa inilah yang harus diluruskan. Dan itu bukan hanya tugas psikolog, psikiater, praktisi kesehatan mental atau mereka yang bertugas di panti rehabilitasi mental dan rumah sakit jiwa saja, tapi mejadi tugas dan tanggung jawab kita bersama termasuk pemerintah. Namun, lebih arif kiranya jika kita tidak saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab. Mari kita mulai saja dari diri kita masing-masing, kita mulai dari lingkungan keluarga kita masing-masing.

Kata-kata bijak Steven R. Covey, dalam The 7 habits of Highly Effective People, patut kita jadikan pegangan, “Jika anda ingin mengubah sebuah keadaan, anda harus mengubah diri anda terlebih dahulu. Dan untuk mengubah diri anda secara efektif, anda terlebih dahulu harus mengubah persepsi anda.”
Dengan mengubah persepsi kita tentang apa dan bagaimana sebenarnya penyakit jiwa, mudah-mudahan akan mengubah atau paling tidak mengikis persepsi dan perlakuan buruk masyarakat terhadap penderita kelainan jiwa. Sehingga orang yang sakit jiwa tidak lagi dianggap sebagai sampah sosial, semoga.

Sumber : www.sivalintar.com


Bookmark and Promote!



Artikel Terkait:

Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.

Tiga Serangkai eBook Bipolar

3 eBook Bipolar ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulisnya. Mengupas secara detail dan sistematis dari gejala awal, saat berada di puncak manik dan depresi, sampai langkah-langkah pemulihannya. Inilah ebooknya : "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah”, “Berdamai dengan Bipolar” dan “7 Langkah Alternatif Pemulihan Bipolar”.
eBook 1: "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah"

Buku psikomoar ini bercerita tentang pergumulan saya selama bertahun-tahun dengan gangguan jiwa yang tidak saya fahami dan membuat saya bertanya-tanya, “Apa yang terjadi dengan diri saya? Penyakit apa yang saya alami? Bagaimana cara mengatasinya?” Ironisnya, saya baru tahu apa yang terjadi dengan diri saya, 8 tahun setelah saya pulih, bahwa saya mengalami Gangguan Bipolar. [Selengkapnya]




eBook 2: "Berdamai Dengan Bipolar"

Bagaimana mengenali dan mengatasi Gangguan Bipolar?
Bagaimana menanggapi sikap negatif orang-orang di sekitar anda?
Bagaimana mendampingi orang yang mengalami Gangguan Bipolar? eBook ini memberi jawaban dan solusi alternatif penanganan Bipolar. [Selengkapnya]



eBook 3: “7 Langkah Alternatif Pemulihan Bipolar”

eBook ini merupakan inti dari pengalaman dan pemahaman bipolar saya. Inti dari tulisan-tulisan saya di buku, ebook, blog, facebook, twitter dan media lainnya. eBook ini bukan teori-teori tentang gangguan bipolar! Bukan formula ajaib untuk mengatasi gangguan bipolar! eBook ini tentang tindakan, langkah-langkah penanganan bipolar. [Selengkapnya]


eBook Novel: “Pengorbanan Cinta”

Novel ini bukan sekedar kisah cinta yang romantis dengan segala macam konflik di dalamnya. Saya berani menyebut novel ini sebagai “Buku Pelajaran Cinta”. Beda dengan buku pelajaran pada umumnya, Buku Pelajaran Cinta ini tak membosankan, malah sangat mengasyikan dibaca. Setelah mulai membaca, jamin Anda tak ingin berhenti dan ingin terus membacanya sampai akhir cerita. [Selengkapnya]



eBook Panduan: “7 Langkah Mudah Menyusun & Memasarkan eBook”

Jika dikemas dengan desain cover yang apik dan diberi judul yang manarik, kumpulan posting blog atau catatan facebook anda bisa disusun menjadi sebuah ebook yang akan memikat pembaca di ranah maya. Selanjutnya ebook anda tinggal dipasarkan secara online.
[Selengkapnya]

 
 © Copyright 2016 Curhatkita Media  template by Blogspottutorial