Pengalaman Pribadi
Oleh : Ulfah Nurrahmani
Setelah beberapa jam duduk dan terlibat pembicaraan dengan orang-orang yang “bernafsu “ menjadi orang kaya raya yang punya mobil dan rumah mewah,
Sekali aku ikut acara bisnis begituan, sikapku acuh tak acuh.
Tapi lama-lama muncul sebuah gelitik pemikiran di otakku.
Iya.ya. enak ya jadi orang kaya. Apa-apa tersedia. Uang melimpah. Butuh ini itu selalu terpenuhi. I can get what I want.
Tetapi selama hidupku yang setua ini (nyaris 23 tahun), hidup yang bisa aku bilang pas-pas-an ala pegawai negeri, enjoy-enjoy aja dengan segala keterbatasan dan beberapa kekurangan. Serius.
Siapa bilang? Berkeringat, capek, kelaparan, kepanasan, kehujanan, itu suatu hal menyiksa? Ga juga ah. Enjoy aja lagi. Ga makan di resto yang pakai table manner juga ga pa-pa.
Kehujanan karena ga punya mantol, jalan kaki jauh karena ga punya motor…it’s a nice memory. Kenangan yang ga bakal terlupa dari ingatan. Sungguh.
Aku pikir….Allah itu adil.
Orang yang serba kekurangan materi bisa tetap diberi kesempatan agar dilimpahi sebuah kenikmatan ruhani kok.
Kebahagiaan (yang tidak selalu dilekatkan pada harta tahta dan wanita) diberikanNya kepada siapa saja tak perduli kaya dan miskin.
Jadi, apa salahnya sih jadi orang miskin?
Toh, Allah kan menilai seseorang bukan dari kaya tidaknya seseorang secara materi. Iya, kan? Allah menilai dari amalnya kan?
Bahkan orang yang kaya itu nantinya akan mendapat deretan pertanyaan jauh lebih banyak dan njlimet di akherat nanti.
Dari mana kamu dapat? Bagaimana kamu membelanjakannya?
Kalau orang miskin, kan ga bakal dapat pertanyaan semacam itu? Iya kan?
Siapa bilang, orang miskin ga bias beramal? Dengan kesabaran dan keuletannya menghadapi cobaan hidup, itu bakal jadi amalnya.
Iya kan?
Nha, kalau aku tarik sebuah benang merah, mengapa kemudian ada kaya dan miskin, itu kan hanya masalah “peran”. Seperti di papan catur, kita mau mengambil peran apa dalam hidup. Apakah mau jadi miskin atau jadi orang kaya.
It’s our choice.
Semuanya ada resiko dan konsekuensinya.
Aku jadi teringat dengan kejadian beberapa saat yang lalu. Seorang teman menjadi penanggung jawab sebuah acara social. Bisa ditebak, seperti halnya acara-acara organisasi lainnya, acara itu defisit sekian ratus ribu. Sementara itu, kas organisasi sepertinya kosong, kalau pun toh ada, masih banyak program yang lebih prioritas untuk didanai.
Akhirnya, dia kerja sendiri. Mencoba menutupi deficit dengan dagang kecil-kecilan. Untung sekian puluh rupiah dikalikan 30 hari dan kira-kira baru dalam jangka waktu 5 bulan kekurangan itu dapat ditutupi.
Hiks. Aku hampir nangis karena kepolosannya, ketulusannya, kesungguhannya. Ya Allah, berapa orang Islam yang kaya sih di dunia ini hingga untuk sebuah acara yang mengagungkan namaMu harus kesusahan seperti itu. Atau memang harus seperti itu ya?
Secara kasat mata, kalau melihat temanku itu, konyol banget ya. Mau-maunya nabung rupiah demi rupiah untuk sebuah kepentingan yang tidak ada kepentingan untuk dirinya sendiri.
Ah, tapi aku yakin ia melakukan itu bukan tanpa alasan. Ya, dia menanam investasi untuk akheratNya. Tidak melulu pengusaha yang bermodal besar saja yang bisa menanam investasi tetapi orang “setidak punya” dirinya bisa berinvestasi untuk masa depannya di akherat nanti.
Kalau orang seperti dia mau beramal seperti itu, lalu orang yang lebih mampu daripada dia, kira-kira mau melakukan hal yang sama gak ya?
Ah, aku juga tak tahu. Toh aku juga belum pernah merasakan jadi orang kaya yang biasa belanja tiap dua hari sekali di supermarket besar.
Ulfah Nurrahmani
Email : ul_zxcv@yahoo.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)