Pengalaman Pribadi
Oleh : R. Rudi Agung P
Jumat (29/5), saya mengintip Kota Kalimantan. Baru kali ini tertarik memperhatikan pemandangan.
Sejak awal lepas landas, saya terus melihat pemandangan ke bawah. Pesawat terus melaju dengan sempurna. Sekitar 10 menit dari bandara, pesawat kian terbang tinggi. Pemandangan gedung-gedung, bangunan, dan infrastruktur lain di bawah seakan membentuk sebuah titik. Kecil.
Apalagi pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta-Balikpapan melintas di ketinggian sekitar 33 ribu kaki di atas permukaan laut. Bangunan-bangunan di bawah, menjadi teramat kecil, bisa dipastikan tak terlihat lagi. Sekitar 45 menit saya memperhatikan pemandangan di bawah. Kali ini berada di antara hamparan awan putih. Indah sekali. Saat itu bangunan apapun di ruas jalan seperti tak ada. Menghilang tertutup awan dan langit biru.
Saat itu, saya berpikir, bagaimana dengan perjalanan lain yang lebih jauh. Misalnya, Jakarta-Makkah, Jakarta-Eropa, atau perjalanan dari ibu kota ke benua lain. Entahlah. Selama ini saya baru diberi kesempatan melintas ke pulau-pulau di Indonesia. Namun, baru kali ini pula saya berpikir.
Di dalam pesawat menuju Jakarta-Balikpapan, pikiran saya terbawa menuju alam lain. Berputar-putar menyelami peringai saya selama ini. Teringat sifat manusia yang ada di bumi.
Subhanallah. Beberapa kali melintas perjalanan udara, mengapa baru tersadar saat ini. Tersadar bahwa manusia, sesungguhnya, berada di titik minimal. Tak kuasa akan segala hal. Tak mampu apa-apa, tak memiliki apa-apa. Jika menyimpan secercah kecerdasan, memiliki sekantong rupiah atau dolar, niscaya semua itu karena rizki Allah. Berkat rahmat-Nya.
Tanpa rahmat dan kekuasaan Sang Maha, manusia itu tak berarti. Saat berada di pesawat, saya merasakan kegundahan. Secanggih apapun pesawat, sepandai apapun pilot, sebanyak apapun pengalaman awak pesawat, tak ada yang menjamin keselamatan perjalanan. Apakah nantinya bisa mendarat sempurna, nyemplung ke lautan dalam dan menghilang, atau mendarat darurat dengan menimpa bangunan rumah seperti kejadian jatuhnya pesawat Hercules akhir Mei lalu.
Dari atas ketinggian, gedung tinggi saja tak terlihat, apalagi mau menebak apakah di bawah ada si Fulan atau si Maryam. Dari atas ketinggian kita juga tak mampu melihat seorang Presiden sekalipun. Sungguh, manusia berada di titik minimal. Dari atas ketinggian selama perjalanan pesawat saja tak terlihat, apalagi jika melihat dari langit tujuh. Dari Surga. Atau dari Singgasana Allah.
Saya seperti dibawa mundur saat masa ospek di bangku kuliah. Mahasiswa baru memiliki karakter di titik nol kala berhadapan dengan kakak seniornya. Cupu, kata banyak orang. Lantas bagaimana keadaan kita bila dilihat dari Singgasana Allah. Nothing. Siapapun dia, tak ada apa-apanya. Masya Allah. Maafkan saya, mohon ampuni dosa-dosa kami.
Kami yang lemah, sering kali bersifat takabur. Menyimpan kesombongan. Merasa paling bisa, paling kaya, paling cerdas, dan mengoleksi "paling" lainnya. Astaghfirullah.
Manusia itu berada di titik minimal. Tapi mengapa kami merasa sering lupa. Kadang, justru melupakan dengan sengaja. Mari memaafkan, saling memberi maaf, saling menghargai, dan saling tolong menolong.
Jangan merasa paling. Kita lemah. Kita senantiasa diciptakan di titik minimal. Mari ingat salah satu wasiat Ali bin Abi Thalib: "Jika bertemu dengan seseorang yang usianya lebih muda, berpikirlah ia memiliki dosa yang lebih sedikit. Jika bertemu dengan yang tua, pikirkanlah bahwa amalnya pasti lebih banyak."
Ya Rab, tinggikan derajat kami. Jauhi kami dari sifat takabur, sombong, pongah. Jauhi kami dari semua penyakit manusia. Ingtakanlah kami, manusia sesungguhnya selalu berada di titik minimal. Wallahu \'alamu.
29 Mei. Dalam kegelisihan, menatap hamparan awan, menuju perjalanan Balikpapan.
R. Rudi Agung P
Email : r_agungp@yahoo.com
Blog : klikrudi.blogspot.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)