Pengalaman Pribadi
Oleh : R. Rudi Agung P
Mengisi malam panjang dengan tetangga sekitar. Ramai bersama sejumlah kerabat. Diskusi ringan seputar prediksi masa depan Indonesia. Sesekali membicarakan tema-tema keagamaan.
Entah mengapa di tengah keramaian ini, pikiranku berkelana ke bulan-bulan di tahun 2008. Persisnya ketika menjadi jurnalis di Jakarta. Saat itu, sempat beberapa kali liputan di gedung atau peresmian-peresmian dengan makanan berlimpah.
Beruntung, sebelum liputan aku selalu menyempatkan diri untuk mengisi perut. Yah, untuk menjaga stamina di lapangan. Otomatis, aku enggan mencicipi makanan dan minuman yang berjejer di hadapan mata. Sudah kenyang.
Hmm, jadi ngalor ngidul tuh hehe. Dari pengalaman itu, aku kerap memperhatikan cara penyajian makanan yang disediakan bagi undangan atau rekan jurnalis lain.
Panitia menyuguhkannya secara prasmanan. Tamu dipersilahkan mengambil sesukanya. Namun, mereka memakannya dengan cara berdiri. Standing party. Sekilas seperti tidak ada yang salah. Seperti hal lainnya, terkadang kita selalu mengadopsi budaya Barat. Tapi, dalam hati ku selalu bertanya, \"Kenapa sih makan aja kita juga berkiblat pada Barat?\"
Kita ini orang Timur. Dengan mayoritas Muslim. Bagi umat Muhammad, kita tentu memiliki cara dan adab makan atau minum.Lantas, mengapa kita tidak mematuhinya. Pun dengan varian pesta lain. Pesta kebun, pesta ulang tahun, misalnya. Para tamu menikmati hidangan dengan berdiri. Sudah menjamur. Seperti budaya, membentuk peradaban baru.
Tak sedikit pula yang minum dengan tangan kiri. Ironisnya, ada saja yang menganggap cara tersebut gaul. Populis. Padahal, jika dibuka KTP mereka, tentu tertulis: agama Islam. Hmm, mari kita kembali pada Sunnah. Pada cara, etika, dan adab yang begitu mulia.
Makan dan minum dengan duduk. Diawali basmallah, diakhiri hamdallah. Gunakan tangan kanan. Tak perlu malu dianggap kuno. Tak perlu merasa aneh dicap gak gaul.
Islam indah. Ajarannya mulia. Apalagi yang harus diragukan. Kadang aku berpikir, standing party ini apa ingin menjauhi kita dari nilai Islam? Astaghfirullah.
Ghazul fikri kian nyata. Semoga kita mampu menangkisnya. Biarlah orang mencap kita sok agamis, kuno, atau hal negatif lain. Apapun terima saja, yang pasti niatkan semuanya untuk ibadah. Mengembalikkan Sunnah yang mulai ditinggalkan.
Mari, makan dan minumlah dengan duduk. Jangan berdiri. Tangan kanan, bukan tangan kiri. Mulai hari ini, mari. Ya Rab lindungilah kami dari serangan musuh-musuh Mu, amin.
Jika tak dimulai dari kita, siapa lagi? Tentu kita tak rela, kerabat, saudara, atau adik-adik kita larut dalam budaya non Islam. Sedikit banyak kita memiliki tanggung jawab untuk saling mengingatkan kebaikan dan kesabaran.
Di sini tambah ramai. Diskusi pun mulai menghangat. Malam minggu, enak juga, tak diisi dengan hal yang berkaitan dengan asmara :) hehehe..
R. Rudi Agung P
Email : r_agungp@yahoo.com
Blog : klikrudi.blogspot.com
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
setuju. kenapa ya kita selalu mengiuti budaya barat. kalau tidak mnyimpang sih gak papa, tp klo nyimpang kan berabe. kita kembali ke budaya kita
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)