Pengalaman Pribadi
Oleh : Ira Sudiharjo
SD (Sekolah Dasar) N I Sukajaya di kecamatan Punduh Pedada, Lampung Selatan, tempat sekolahku dulu memang tak semiskin SD Muhammadiyah di Film Kondang Laskar Pelangi, sedikit lebih beruntung. Bangunannya bukan papan, tapi gedung tua yang tak tersentuh renovasi sejak pendiriannya, tentu saja jendela kaca telah banyak yang pecah dan bocor di mana-mana.
Keadaan siswanya pun sangat jauh berbeda dengan SD Muhammadiyah yang hanya 10 siswa. Di SD ku setiap angkatan menerima lebih dari 60 siswa. Ramai habis! Sampai guru kelas kewalahan buat ngatur kami saat itu.
Satu persamaan kami dengan para tokoh Laskar Pelangi adalah Kami juga memiliki mimpi. Walau mimpi kami terkadang terdengar ngawur dan asbun (asal bunyi). Suatu hari guru kelas satu ku menanyakan cita-cita kami, dengan antusias kami menjawab ada yang mau jadi dokter, perawat, guru, pengusaha bahkan artis dan tak seorang pun yang ingin jadi petani atau nelayan seperti kebanyakan orang tua kami.
Cita-cita yang mulia, tapi tidak mudah bagi guru mengantarkan kami menuju cita-cita, lah… membaca saja kami tidak bisa bahkan ada yang belum mengerti bentuk huruf alphabet. Ini berlangsung dalam waktu yang lama sampai hampir semester pertama kelas satu. Selain kurang maksimal pengajaran di sekolah ditambah kurang perhatian orang tua di rumah, tentu saja di desa tidak ada les di luar jam pelajaran seperti di kota-kota, justru sebaliknya sepulang sekolah kami menjadi bolang, main di sungai, atau mencari buah-buahan di pinggir hutan sembari kami menggembala kambing.
Satu hal yang tak ku lupa hingga kini, cara guru kelas satuku mengajarkan membaca, mula-mula beliau mengunting huruf alphabet satu-satu, kemudian dia menaruh guntingan alphabet ke dalam kotak kapur. Setiap lonceng pulang berbunyi kami belum boleh keluar kelas sebelum mengambil huruf di kotak kapur dan menyebutkannya. Tentu mengambilnya bergilir dan tidak boleh melihat. Jika benar kami boleh pulang jika tidak kami duduk kembali.
Jika ingin cepat pulang tentu kami harus belajar keras di rumah, rupanya cara ini mempunyai efek yang positif bagi kami, kami jadi rajin belajar membaca, bahkan yang biasanya kamu bermain kejar duduk, atau bermain karet saat jam istirahat, setelah adanya “sebut dulu satu huruf baru boleh pulang” kami rela jam isterahat kami belajar dan menghafal huruf.
Pada awalnya hanya satu huruf yang di taruh di dalam kotak kapur, kemudian setelah kami mulai hafal semua huruf, guruku menggabungkan satu huruf vocal dan konsonan yang di taruh di kotak kapur, terus bertambah menjadi satu kata pendek lalu panjang. Pada akhirnya satu kalimat sempurna lengkap dengan S-P-O-K (Subjek-Predikat-Objek-Keterangan)
Sungguh cara yang unik, dan aku berterimakasih dengan segala rasa hormat kepada guru kelas satuku itu, Kepada Bapak Sudarminto terimakasih yang tak terhingga, terimakasih A-B-C nya.
Ira Sudiharjo
Email : irasudiharjo@yahoo.co.id
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Bagus banget, mbak Ira. Saya jadi terharu... Juga sangat inspiratif...
terimaksih Khery Sudeska, ini kisah anak-anak gunung dan gurunya... semoga bermanfaat.
heuheuheu ... jadi inget waktu kecil ni .. :)
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)