Pemimpin yang Rendah Hati
Oleh : Tarjum
Rosulullah, Muhamad sang Nabi, pribadi agung yang berahlak mulia. Setiap kali saya membaca kisah kesehariannya, kesederhanaanya, sifat penyayangnya, kecintaannya kepada umatnya, keluhuran budi dan kemualiaan akhlaknya, saya selalu tak kuasa menahan gejolak rasa kekaguman yang mendalam. Sering saya tak kuasa menahan air mata keharuan saat membaca kalimat demi kalimat kisah kehidupannya.
Pada suatu ketika baginda menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan baginda antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup solah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergesar antar satu sama lain. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan baginda itu langsung bertanya setelah selesai bersembahyang :
“Ya Rosulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung pendertaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”
“Tidak ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar.”
“Ya Rosulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar pernuh cemas.
Akhirnya Rosulullah mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut baginda yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.
“Ya Rosulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami akan mendapatkannya buat tuan?”
Lalu baginda menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya? Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini dan lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di akhirat kelak.”
Baginda pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.
Hanya diam dan bersabar bila kain rida’nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya. Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam mesjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu.
Kecintaanya yang tinggi terhadap ALLAH swt dan rasa kehambaanya dalam diri Rasulullah saw, menolak sama sekali rasa ketuanan.
Seolah-olah anugerah kemuliaan dari ALLAH tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam kesendirian.
Ketika pintu surga telah terbuka, seluas-luasnya untuk baginda, baginda masih berdiri di waktu-waktu sepi malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi.
Bila ditanya oleh Sayidatina Aisyah, “Ya Rasulullah, bukankah engkau telah dijamin surga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?”
Jawab baginda dengan lunak, “Ya Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.”
Rasulullah s.a.w. bersabda, “Sampaikanlah pesanku walau spotong ayat.”
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Allahuma Sholi Allah Muhammad !!!
Meski sering endengar kisah dari Rasulullah namun badan ini merinding juga apabila membaca kisahnya. Salam kenal mas.
nice job bro...!
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)