Oleh : Tarjum
Curhat Offline
Dulu, di era tahun 80-90an saat internet hanya dimiliki segelintir orang, curhat hanya bisa dilakukan dengan saling bertemu dan bertatap muka. Curhat jarak jauh bisa lewat surat atau telepon. Namun telepon pun tak banyak orang yang memilikinya, apalagi hendphone seperti sekarang. Saat itu mungkin hanya orang-orang super kaya yang memilikinya, atau mungkin belum ada HP ya? Yang jelas cara curhat jarak jauh paling murah ya lewat surat yang diantar Pak Pos atau dititipkan kepada seorang teman.
Waktu itu, pertengahan tahun 1987, saat gejala-gejala depresi mulai aku rasakan, aku nggak berani cerita kepada siapa pun termasuk kepada orang tuaku sendiri soal kondisi psikologisku. Aku hanya bisa memendamnya sendiri dalam kesendirian dan kesunyian dicekam kecemasan. Sampai akhirnya aku tak kuat lagi menyembunyikan gejolak perasaan yang sangat menyiksa itu. Gejolak perasaan itu bukan keluar melalui kata-kata, tapi keluar melalui suara isak tangis tertahan dan lelehan air mata. Keadaan menyiksa itu berlangsung selama beberapa bulan, sampai pada suatu malam. Malam itu sepulang dari langgar, aku mengurung diri di kamarku. Kamar yang hanya dibatasi bilik bambu dan diterangi lampu minyak tanah itu menjadi saksi derita jiwaku, yang selalu setia menengarkan isak tangis dan suara hatiku. Gejolak perasaan yang kacau semakin berkecamuk tak terkendali. Aku tak kuasa lagi menahan isak tangis dan lelehan air mataku. Suara isak tangisku yang semakin keras rupanya menembus keluar dinding kamar bambu yang sebagian mulai rapuh itu. Ayahku yang belum tidur rupanya mendengar suara isak tangisku. Untuk beberapa saat ayah mungkin berusaha meyakinkan pendengarannya sendiri, benarkah itu suara tangisan anak tercintanya? Mungkin juga ayah bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa anakku menangis seperti menahan kesedihan yang mendalam?
Akhirnya,"...tok..tok..tok..!" Suara pintu kamarku diketuk dari luar.
“Pot..Pot…buka pintunya!” terdengar suara ayahku dibalik pintu kamarku. ‘Pot’ adalah panggilan singkat dari kata ‘Cepot’, panggilan kesayangan ayah dan ibu kepadaku sejak kecil bahkan sampai aku dewasa.
“Pot, buka pintunya!” terdengar lagi suara ayahku memanggil. Tanpa menjawab, dengan langkah ragu aku bangkit dan melangkah ke arah pintu, lalu aku membukanya. Ayahku masuk, lalu duduk di kursi membelakangi meja belajar menghadapku. Aku duduk bersandar di tempat tidur, seraya mengusap wajahku yang masih basah oleh air mata. Beberapa saat kami berdua saling berdiam diri.
“Ada apa, malam-malam gini kok kamu nangis?” ayahku membuka pembicaraan.
Aku hanya diam membisu, tak menjawab pertanyaan ayah. Bibir ini terasa sangat berat untuk digerakan.
“Ada masalah apa sebenarnya, hmh…coba ceritakan ke Bapak! Kalau kamu nggak cerita mana Bapak tahu masalah kamu?” ayahku mencoba mendesaku untuk menceritakan masalahku.
Aku masih tetap membisu, tak sepatah kata pun keluar dari bibirku.
“Kalau kamu gak mau cerita, coba kamu tulis saja di kertas, apa masalah kamu sebenernya?” ayahku mencoba mengajukan alternatif lain agar aku mau mengungkapkan masalahku.
Awalnya aku masih tetap membisu dan berdiam diri. Namun perlahan, aku mengambil selembar kertas dan sebatang pena dari dalam tas sekolahku yang lusuh. Ayahku pindah posisi dukuknya ke tempat tidurku, sedangkan aku beranjak dari tempat tidur dan duduk menghadap meja belajar. Untuk beberapa saat saat aku hanya diam, dengan selebar kertas di atas meja dan pena yang aku pegang. Tanganku terasa kaku dan berat untuk digerakan. Berat untuk menuliskan isi hatiku yang sedang bergejolak di atas selembar kertas.
“Kalau kamu nggak menuliskannya ayah nggak akan pernah tahu masalah kamu….” Ayahku mendesaku, seakan tak sabar untuk segera mengetahui apa sebenarnya masalahku.
Akhirnya dengan berat, kata demi kata mulai aku tuliskan di atas kertas, terangkai menjadi beberapa baris kalimat. Aku nggak begitu ingat kalimat dalam lembaran kertas itu. Tapi intinya aku menuliskan bahwa aku merasakan gejolak perasaan yang tak menentu. Ada rasa sedih, rasa cemas, rasa takut dosa tanpa sebab dan alasan yang jelas.
Itulah untuk pertama kalinya aku curhat secara tertulis tentang suasana hati dan kecemasanku kepada ayahku.
Setelah itu, aku sering curhat kepada ayah jika aku ada masalah atau suasana hatiku sendang tak enak. Kesabarannya, perhatian dan nasihhat-nasihatnya yang penuh rasa sayang telah mampu meringankan beban pikiranku dan menumbuhkan semangat hidupku. Kalau sudah curhat, aku dan ayah bisa berjam-jam ngobrol, kadang sampai larut malam.
Curhat Online
Sekarang seiring kemajuan dan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, media curhat sudah banyak tersedia. Orang bisa curhat via telepon, Handphone atau internet. Internet menjadi media curhat online yang sedang populer dibanding media lain. Kelebihan curhat online via internet selain lebih mudah, praktis dan cepat, dari segi biaya juga lebih murah. Dalam hitungan menit bahkan detik anda bisa mengirim curhat anda via email. Anda juga bisa curhat via blog, microblogging atau via situs jejaring sosial seperti facebook atau friendster. Curhat online juga sifatnya interaktif. Anda bisa komunikasi langsung dengan teman curhat anda via chating misalnya. Dengan curhat online, anda bisa mendapatkan respon balik yang cepat dari nara sumber atau teman curhat anda. Selain itu, enaknya anda bisa menggunakan identitas samaran saat curhat online.
Namun dengan beragam kemudahan dan kelebihannya, orang kebanyakan masih enggan untuk mencurahkan isi hati dan persoalan pribadinya kepada orang lain, bahkan kepada saudara, teman atau sahabat yang dikenal baik sekalipun. Tak mudah memang mengungkapkan isi hati apalagi yang sifatnya sangat pribadi atau rahasia. Namun akan lebih berat lagi jika masalah pribadi dipendam sendiri. Kata Steven Covey, beban mental itu ibarat segelas air, walaupun ringan, jika dipegang terus-menerus makin lama akan terasa semakin berat. Jadi mengapa anda tak berbagi beban itu dengan orang lain yang anda percaya? Bisa saudara, pasangan, teman dekat, sahabat atau orang yang ahli dibidangnya.
Tapi semua itu kembali kepada anda sendiri, apakah ingin berbagi beban pikiran dengan orang lain atau ingin menyimpan dan menyelesaikannya sendiri, itu sepenuhnya hak anda. Karena tentunya anda punya alasan dan petimbangan sendiri. Jadi apakah anda mau curhat online atau curhat offline? terserah anda.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)