Oleh Iffah
“Iffah, apa kamu ndak takut tho nak pulang koq malam-malam begini?” Tanya ibuku setiap kali aku pulang ke rumah malam hari.
Dan seperti biasa.. aku hanya tersenyum dan berkata, “Jangan khawatir ma, Innallaha ma’ana .. Allah senantiasa bersama kita”
Begitu selalu bila kupulang ke rumah, ibu selalu menyambutku dengan sapaan khawatir seperti tadi. Namun kala itu, keyakinanku begitu dalam, Allah akan menjagaku selama aku berbuat baik.
Toh niatku pulang adalah dalam rangka berbakti pada kedua orang tua selain mengambil jatah bulananku tentunya, hehe .. Yang pasti jarak madiun-Lumajang ketika aku SMA dan madiun-Surabaya ketika aku kuliah selalu kunikmati dengan hati yang bahagia.
Dalam perjalanan aku selalu membayangkan pelukan hangat ibuku akan mengobati kerinduanku pada beliau. Maka bila rindu sudah tak tertahan, perjalanan malam haripun aku tempuh. Bagiku kala itu, justru lebih menyenangkan bila pulang di malam hari, karena cuaca tak lagi terik. Alhamdulillah, selama aku hidup sendiri, jauh dari orang tua- sejak SMA aku kost di luar kota yang jaraknya 9 jam perjalanan bis- tak pernah ada kejadian apapun yang menimpaku.
Sejak SMA aku terbiasa hidup mandiri, jauh dari orang tua. Untuk keprluan sehari-hari aku terbiasa mengurus diriku sendiri, orang tua hanya menyediakan uang untuk menutupi kebutuhanku sehari-hari. Sebuah keputusan yang tak mudah sebenarnya untuk hidup terpisah jauh dari orang tua di usia yang masih sangat muda.
Pada awalnya aku memang merasa berat dan kesepian hidup sendiri jauh dari orang tua. Namun lama kelamaan aku merasakan nyaman, dan bebas untuk mengambil keputusan sendiri, meski tentu saja keputusan yang harus dapat dipertanggungjawabkan.
Di masa perkuliahan aku menyibukkan diri di berbagai organisasi kemahasiswaan. Hari-hariku dipenuhi dengan kegiatan perkuliahan dan aktivitas kemahasiswaan, mulai dari LDK Masjid Kampus hingga Badan Eksekutif Mahasiswa di kampusku. Maka, akupun jarang berdiam diri di rumah. Aku punya banyak teman hingga tak pernah merasa kesepian.
Namun di pertengahan masa perkuliahan ketika aku mengikuti pelatihan kepemimpinan di kampus, aku mulai merasakan keanehan pada diriku. Aku merasa menjadi topik pembicaraan di depan peserta pelatihan yang lain, seolah-olah pemateri di podium hanyalah membicarakan diriku. Meski demikian, aku tak bercerita pada siapapun anggota keluargaku.
Dari sejak kejadian itu, Alhamdulillah aku masih bisa menyelesaikan kuliahku dan melamar di sebuah perusahaan konsultan asing. Sekali lagi aku harus berpisah dari keluargaku, bahkan lebih jauh lagi. Aku bekerja di Bandung, yang jarak tempuhnya 12 jam perjalanan darat. Semua itu tak menyurutkan langkahku, sampai kemuadian ada laki-laki yang melamarku dan kami menikah. Karena jarak kota yang terpisah antara aku dan suamiku, maka aku memilih untuk berhenti bekerja di saat aku hamil anak pertamaku.
Dan segalanya berubah drastis ketika anak pertamaku berumur 3 bulan.Aku menjadi penakut, sering tidak bisa tidur di malam hari. Di dalam rumah ataupun keluar rumah aku menjadi takut sekali. Keluar rumah takut jadi bahan omogan orang, di dalam rumah juga takut jika aku mati.
Masya Allah… segala keberanian yang dulu kupunya sepertinya menguap entah kemana. Kadang aku merasa tersiksa dan jenuh dengan segala aktivitasku yang hanya kulakukan di dalam rumah.
Sampai akhirnya suatu saat aku berteriak-teriak sendiri di dalam rumah bak orang kesurupan.
Awalnya kami mengira aku kesurupan saja, aku dibawa ke tempat ruqyah. Memang di sana aku bereaksi seperti halnya orang yang sedang kemasukan jin. Namun sampai di rumah, aku tetap tak bisa tidur hingga 2 hari. Maka keesokan harinya aku dibawa ke rumah sakit, dan di sana aku ditangani oleh psikiater. Sejak saat itu kakakku yang ahli medis menyarankan aku rutin berobat ke psikiater.
Kehidupanku berubah sangat drastis, yang dulunya tak bisa berdiam di rumah, sekarang justru lebih sering di rumah. Tapi kuyakin di balik semua penyakitku ini, ada hikmah besar di dalamnya, barangkali agar aku tak merasa besar di hadapan-Nya, dan lebih banyak tergantung pada-Nya. Dan kuyakin roda kehidupan terus berputar, suatu saat nanti insya Allah kubisa pulih kembali. Aamiin.
Inspirasi apa yang anda dapatkan dari cerita ini? Silakan sampaikan di komentar.
Jika menurut anda tulisan ini cukup menarik dan bermanfaat silakan share di twitter atau facebook dengan mengklik tombol share di bawah atau di atas posting ini. Jika mau berlangganan artikel blog ini melalui email, silakan subscribe disini.Tentang Penulis : Iffah (nama samaran), seorang perempuan yang sedang berjuang mengatasi problem psikologis yang dialaminya, Skizofrenia.
[Photo:stock.xchng]
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Saya sangat mengerti bagaimana perasaan Mbak Iffah. Saya juga merasakan diri saya berubah setelah menderita Bipolar. Tapi semua kejadian pasti ada hikmahnya. Semoga kita bisa bijak mengambil hikmah dari setiap kejadian dalam hidup kita.
@Inilah Diriku, Saya setuju dengan pendapat anda!
Ada hikmah dibalik setiap kejadian. Apa pun yang terjadi pada kita adalah atas kehendak-Nya, bukan suatu kebetulan. Ada rencana Tuhan dibalik setiap kejadian. Walaupun kadang karena ketidaktahuan, kita menganggapnya sebagai kemalangan.
Dulu saya pernah menganggap Tuhan tidak adil, menimpakan derita psikologis yang begitu berat. Namun sekarang saya bersyukur, ada hikmah dan pembelajaran yang luar biasa dari apa yang terjadi pada diri saya.
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)