Cerpen Curhatkita (4)
Oleh Nisa
"Hmm...masih jam 7 kurang 5 menit." Kataku sambil melirik jam yang melingkar di tanganku.
Kulihat cukup banyak juga orang-orang yang kupikir juga sakit atau sekedar kontrol. Entahlah, ruang tunggu itu cukup penuh juga malam itu. Aku dan mama masih duduk sambil memperhatikan orang yang lalu lalang.
Sambil menunggu dokter Tia datang, Rini sesekali merubah posisi duduknya. Tak berapa lama kemudian, Rini tersenyum. Ia melihat sosok yang tak asing lagi. Ya, dokter Tia selalu menjadi sosok yang anggun bagi Rini.
Ia kagum sekali dengan keramahan bahkan sejuta kesabaran yang di miliki sang dokter itu. Terutama, dalam menghadapi pasien-pasien yang cerewet seperti dirinya.
Sesekali, kutatap seorang wanita tua di sebelahku. Hmm..wajah keriputnya sudah mulai nampak. Tak tega rasanya, di usiaku yang sudah semakin dewasa masih merepotkan wanita tua di sebelahku ini.
"Kamu harus belajar mandiri nak. Gimana kalo nanti mama dan papamu sudah tidak ada." Begitu kata-kata yang selalu di katakan oleh mamaku.
Tapi, aku tak pernah menghiraukan kata-kata itu atau sekedar menanggapinya. Tidak pernah. Bahkan kuusir jauh-jauh kata-kata itu dari pikiranku. Aku tak ingin sekalipun kata-kata itu mengacaukan hati dan pikiranku. Tidak sekalipun kuijinkan meski hanya sekedar singgah di hatiku. Tidak! Aku tak berharap sedikitpun mereka pergi meninggalkanku.
"Rini, masuk Rini." Panggil dokter Tia membuyarkan lamunanku.
Tanpa kusadari air mata jatuh membasahi wajahku. Tanpa basa-basi, aku segera berlari. Bukan ke ruangan dokter Tia melainkan menuju toilet untuk sekedar cuci muka. Mama yang melihat tingkah lakuku yang aneh hanya memandang bengong. Tapi, untungnya tak berlangsung lama. Karena mama segera masuk ke dalam ruang dokter Tia. Dokter Tia tersenyum ramah menyambut kedatangan mamaku. Tak lama, aku segera menyusul jejak mama masuk ke dalam ruangan dokter Tia.
"Kira-kira dokter Tia bicara apa aja yah dengan mama? Mati deh aku kalo dokter Tia bicara tentang macam-macam kelakuanku." Pikirku dalam hati. Ingin rasanya aku melarikan diri dari Rumah Sakit saat itu juga. Tapi, aku berusaha menahannya."Lari aja!" Pikir Rini dalam hati. Rini pun lari dari tempat duduknya. Tanpa mempedulikan pandangan heran pasien-pasien di Rumah Sakit itu.
Brukk !! Rini menabrak seorang bapak yang sedang duduk di kursi roda sambil di dorong seorang perawat.
"Aduh, mata kamu di taruh di mana sih? Masa orang sakit di tabrak juga?" Maki bapak itu sambil berusaha dengan susah payah untuk bangkit kembali dengan dibantu sang perawat untuk duduk di kursi rodanya. Namun, tampaknya kegaduhan itu mengundang rasa penasaran dokter Tia dan ibunya untuk sekedar menghilangkan rasa penasarannya. Aku masih terduduk di lantai. Sambil meringis kesakitan. Pergelangan tanganku terluka.
"Rini, kamu kenapa?" Tanya mama dengan wajah panik.
Aku hanya menggelengkan kepala. Aku sempat melirik perubahan di wajah ibuku seolah kembali tenang. Setelah memastikan putri tunggalnya dalam keadaan baik-baik.
Tak lama, giliranku masuk pun tiba. Jantungku berdegup kencang. Senyum ramah dokter Tia sedikit menyejukkan hati.
"Rini, tadi kamu kenapa?" Tanya dokter Tia lembut.
"Eng..enggak tau dok. Cuma merasa takut, jadi saya pikir apa kabur aja yah? Saya takut banget dok." Dengan gugup Rini berusaha menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
"Lho, takut kenapa? Kan tidak ada yang akan memarahimu Rin. Jadi, jangan takut yah Rin? Kamu mengerti?" Tanya dokter Tia lagi sambil berusaha menjelaskannya perlahan.
Rini pun mengangguk pelan.
"Bagus, lain kali jangan takut lagi yah? Rin, mama kamu tuh melakukan semua ini untuk kamu. Untuk kesembuhan kamu. Semua di lakukan karena cinta seorang ibu kepada anaknya. Kamu mengerti?" Tanya dokter Tia lagi.
Rini mengangguk pelan. Air matanya tak bisa di bendung lagi. Rini segera bangkit dan berlari keluar.
Ia memeluk ibunya dengan erat. Seraya membisikkan sepatah kata. "Ma, makasih ya untuk semua yang telah mama lakukan untuk Rini selama ini. Sekarang Rini mengerti semua yang mama lakukan semuanya karena cinta mama pada Rini kan?" Tanya Rini sambil menatap wajah tua ibunya.
Wanita tua di hadapannya itu mengangguk pelan.
Tapi, baru saja kubuka pintu ruang tersebut.
"Rini, tunggu di depan dulu yah? Saya bicara dengan mama kamu dulu. Nanti kita ngobrol berdua yah?" Kata dokter Tia dengan senyum termanisnya.
Akupun mengangguk setuju dan langsung menutup pintu ruangan itu lagi. Kuhempaskan tubuhku di sebuah kursi tak jauh dari ruang dokter Tia. Sejuta pertanyaan bahkan rasa penasaran dan curiga pun datang tanpa diundang.
Jakarta, Januari 2011Anda bisa berteman dan mengenal Nisa lebih dekat di Facebook.
Bagaimana menurut anda cerpen yang anda baca ini? Kami tunggu komentar anda.
Jika menurut anda tulisan ini cukup menarik dan bermanfaat silakan share di twitter atau facebook dengan mengklik tombol share di bawah atau di atas posting ini. Jika mau berlangganan artikel blog ini melalui email, silakan subscribe disini.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)