Oleh Iffah Salsabila
“Aaaaaarrrrggghhhh…..”
Kuingin jujur tentang rasa ini, tapi di sana kalian bilang aku beda. Kuingin kalian dengar suara ini, tapi disana kalian bilang tiada. Di luar sana, kalian hanya katakan aku sebagai manusia pinggiran yang layak terbuang.
Dan kali ini, rasa itu datang lagi, “Hufft…” berkali-kali kutarik nafas dalam-dalam, mencari ruang sisi hatiku yang masih kau katakan baik. Jika saja ku tak ingat bahwa semua kan diperhitungkan oleh Sang Pencipta, bilah tajam ini pasti telah menghantarkanku ke dunia lain.
“Ibu,.. mengapa kau menangis?” sang bocah mendekatiku.
“Ibu sedih, nak..” hanya itu yang bisa kukatakan padamu.
“Mengapa sedih, ibu.. ?” dan bocah cilik itu menghamparkan sisi kepolosannya di hadapanku.
“Ah… “ aku menggeleng,.. ‘dan kelak kau akan tahu nak, betapa dunia tak berpihak padaku.
“Aku sayang ibu “ bening bola matanya seakan menggambarkan kejujuranmu.
Dan kali ini kuyakin, ada rasa yang berbeda dari biasanya, mengalir di seluruh ruang hatiku.. menebarkan aroma wewangian.. menguatkan segenap asa.
Ya,.. bocah cilik 6 tahun itu belum mengenal kamuflase, kuyakin kaupun jujur dengan rasamu, nak.
“Aku, nggak ingin ibu pergi.”Seperti biasa, dia seakan telah membaca kebiasaanku sejak 6 tahun yang lalu, disaat ia masih tak berdaya, ku hampir selalu tak bisa berdamai dengan rasa ini.
“Dan akupun mencintaimu, nak.” lirih kuucap, nyaris tak terdengar, seperti halnya buramnya rasa cintaku pada diri sendiri yang tertutup oleh kelamnya rasa-rasa lain.
“Ibu, janji ya tidak tinggalkan aku lagi.” Kali ini dia sudah mampu berucap, tak seperti pertama kali ketika kusudah tak sanggup berdamai dengan rasa hatiku.
Kali itu, hanya tangis pilu dan getaran jiwanya yang menggoncang hatiku, menggerakkan kembali naluri keibuanku. Dan untuk kesekian kalinya, aku menggagalkan niatku untuk pergi menepi dari segala fatamorgana dunia.
Bahwa, disini kau masih menerimaku apa adanya, dengan segenap kejujuran hatimu. Mengapa selama ini, aku masih saja ragu, bahwa aku layak dicintai, bahkan oleh mahluk mungil yang benama anakku ini.
Dan bocah cilik itu menggandengku kembali, menyusuri jalan-jalan kehidupan, menghalau kerikil tajam yang merintangi hati, menepis segala ragu, bahwa atas izin Sang pencipta, aku masih ditakdirkan menjadi ibunya, hingga kelak benar-benar Sang Pencipta melepaskan ikatan sementara ini, dan menyatukan kembali di firdausnya.
Apakah anda pernah merasakan apa yang dirasakan Iffah? Atau anda punya solusi yang bisa anda share, tentang bagaimana mengatasi tekanan psikologis seperti yang dirasakan Iffah? Silakan berbagi di komentar.
Jika menurut anda tulisan ini cukup menarik dan bermanfaat silakan share di twitter atau facebook dengan mengklik tombol share di bawah atau di atas posting ini. Jika mau berlangganan artikel blog ini melalui email, silakan subscribe disini.Tentang Penulis : Iffah Salsabila (nama samaran), seorang perempuan yang sedang berjuang mengatasi problem psikologis yang dialaminya, Skizofrenia.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)