Suasana di salah satu pabrik Garment di desa kami
Sejak ditetapkan sebagai zona industri beberapa tahun lalu, banyak pabrik berdiri di desa kami. Sebagian besar pabrik garment asal Korea, yang tergolong industry padat karya. Para investor asal Korea tersebut mendirikan pabrik di daerah karena mengejar upah murah.
Pabrik garment memang menyerap banyak tenaga kerja. Pabrik tempat saya bekerja saja yang 3 factory menyerap tenaga kerja lebih dari 4.500 orang. Dan lebih dari 90% karyawan pabrik garment adalah perempuan. Di desa kami saat ini ada 3 pabrik garment dan 1 pabrik wig. Total karyawan 4 pabrik tersebut sekitar 11.000 orang lebih.
Dari sekitar 10.000 karyawan perempuan dan 1000 karyawan laki-laki, ternyata terselip puluhan atau mungkin ratusan karyawan perempuan tapi penampilan dan gayanya seperti laki-laki. Mereka inilah yang oleh warga desa disebut “Tongki”. Tongki adalah nama itik hasil perkawinan silang antara bebek dengan entog. Mereka disebut Tongki, mungkin karena dianggap perpaduan antara perempuan dengan laki-laki.
Awalnya kehadiran para Tongki ini dianggap hal yang wajar, toh mereka kan masih tergolong perempuan, hanya penampilannya saja yang tomboy dan kelaki-lakian. Tapi, lama-lama muncul ke parmukaan kasus-kasus yang dalam pandangan warga desa dianggap melanggar norma. Orang-orang sering melihat, para Tongki ini menjalin hubungan dengan perempuan teman kerja mereka dan sering terlihat mesra di tempat umum. Setelah diselidiki, ternyata hubungan itu bukan sebatas pertemanan antara perempuan dengan perempuan, tapi hubungan sepasang kekasih layaknya laki-laki dengan perempuan.
Sampai di sini, warga desa masih menyikapinya dengan biasa-biasa saja, karena kasus hubungan sesama jenis yang muncul dipermukaan hanya beberapa saja. Seiring berjalannya waktu, dengan semakin banyaknya karyawan dari luar,daerah yang masuk ke desa kami, para Tongki juga semakin banyak jumlahnya. Kasus hubungan sesama jenis para Tongki pun semakin banyak. Warga desa mulai resah dengan ulah para mereka yang tak jarang menunjukan kemesraan dengan pasangannya di tempat umum.
Yang paling meresahkan warga adalah tingkah para Tongki ini yang kalau bertengkar dengan pasangannya lebih galak dari laki-laki. Saya pernah menyaksikan sendiri pertengkaran seorang Tongki dengan pacarnya. Si Tongki baru sebulan kost di kontrakan saya. Saya pikir tadinya, tak apalah mereka saya terima kost, yang penting jangan membuat ulah di tempat saya. Kalau mau pacaran ya silakan di luar tempat kontrakan. Mereka kost bertiga satu kamar, seorang Tongki dan 2 orang perempuan. Mereka bertiga bekerja di tempat yang sama.
Sebulan pertama mereka kost, tak ada masalah apa-apa. Memasuki bulan kedua, saya mulai melihat gelagat yang tak baik. Saya dengar dari teman sekamar si Tongki, bahwa pacar si Tongki ingin mengakhiri hubungan dan ingin menjalani hubungan yang normal layaknya perempuan lain. Tentu saja si Tongki tak terima, karena dia sudah cinta berat sama pacarnya.
Sampai suatu malam, selepas Magrib, saya mendengar suara rebut-ribut di kamar kost si Tongki. Saya pikir tadinya hanya bercanda, tapi makin lama makin ribut dengan teriakan-teriakan si Tongki yang makin keras. Ketika saya mendekati kamarnya, ternyata si Tongki sedang teriak-teriak seperti orang kesurupan. Dua orang teman perempuannya berusaha menenangkan dan memegangi si Tongki yang meronta-ronta. Lebih parah lagi, pintu dan bak kamar mandi jebol ditendang si Tongki yang mengamuk. Ternyata dia mabuk berat. Menurut pacar dan teman perempuannya dia mabuk karena sakit hati oleh pacarnya yang minta putus hubungan.
Saya mau mencoba menenangkan, gak enak juga, soalnya bagaimanapun kan dia perempuan. Untungnya ada seorang teman yang bertamu dan dia seorang playboy. Dialah yang menenangkan si Tongki yang meronta-ronta.
Ternyata, kejadian seperti ini bukan hanya terjadi di kontrakan saya, di kontrakan lain pun sering terjadi pertengkaran Tongki dengan pacarnya seperti itu. Sampai ada pemilik kontrakan yang tak mau menerima mereka kost di tempatnya. Ya, karena itu tadi, suka bikin ulah di tempat kost.
Bahkan ada yang lebih gila lagi, pernah ada kasus seorang karyawati yang bekerja di perusahaan garment tempat saya kerja, nekad mau bunuh diri di kamar kostnya. Menurut keterangan teman kostnya, si karyawati tersebut nekad minum obat dan over dosis karena ditinggal pulang pacarnya. Dan pacarnya itu adalah seorang Tongki.
Karena semakin banyaknya para Tongki yang bekerja di pabrik dan sering membuat ulah yang meresahkan warga desa, suatu waktu para tokoh masyarakat dan tokoh agama bermusyawarah untuk mencari jalan keluar atas penomena Tongki ini. Hasil musyawarah tersebut disepakati, setiap pemilik kontrakan yang di dalamnya ada Tongki, dihimbau untuk mengingatkan para Tongki agar tidak melanjutkan hubungan terlarangnya. Kalau mereka tidak menggubris himbauan warga tersebut, maka mereka diminta meninggalkan desa dan mencari kerja di tempat lain.
Setelah ada himbuan ini, sempat ada beberapa orang pemuda Karang Taruna yang datang ke kontrakan saya dan menanyakan apakah ada Tongki yang tinggal di kontrakan saya. Saya bilang sudah tak ada, karena sudah pindah ke tempat lain. Mereka bilang, hanya akan menasihati para Tongki. Jika mereka mematuhi himbauan warga, tak masalah mereka boleh tetap tinggal dan bekerja di desa ini.
Di perkotaan, penomena para Tongki ini mungkin hal yang biasa, tapi bagi warga desa yang masih memegang teguh adat-istiadat, norma dan hukum agama, keberadaan dan tingkah para Tongki, tak bisa diterima dan sangat meresahkan. Ketenangan dan kedamaian hidup warga desa seolah terusik oleh kehadiran dan ulah para Tongki. Inilah mungkin salah satu dampak hadirnya industri di daerah pedesaan.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
nice share
Emang kenapa...ada yang salah dengan manusia yg loe sebut tongki...secara si tongki gk ngerepotin lo..gk minta mkan ma loe
Anonim, saya menceritakan tentang "Tongki" apa adanya, itulah yang terjadi di desa kami. Saya tak menyalahkan atau memojokan mereka. Di tempat kos saya juga pernah tinggal sekitar 8 orang tongki (beberapa diantaranya awalnya normal), saya tak mengusir mereka atau diskriminasi kepada mereka, karena itu pilihan hidup mereka. Bahkan ketika ada pemuda karang taruna yang tanya ada gaknya tongki yang tinggal di kosan saya, saya bilang gak ada. padahal masih ada yang kos. Ini hanya bentuk keprihatinan saya sebagai warga desa, sebagai sesama muslim melihat penomena yang tentu saja menurut agama dilarang. Sudah selayaknya sebagai saudara seagama saya mengingatkan mereka, tanpa memaksa mereka! Setelah diingatkan, terserah mereka apakah akan berubah atau tatap memilih jalan hidup mereka. Dan jika meraka tetap memilih jadi Tongki dan masih ingin tinggal di kosan saya, silakan itu hak mereka sebagai sesama manusia. Itu prinsip saya soal Tongki.
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)