Oleh Tarjum
Ketika suaminya meninggal, Bu Parmi (nama samaran) yang usianya sudah mendekati 60 tahun, kelihatan shok berat.
Sebelum suaminya meninggal, Bu Parmi sudah sering sakit-sakitan. Mungkin dia berpikir, dengan kondisi tubuhnya yang lemah dan sudah berumur, bagaimana dia bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarganya sangat tergantung kepada penghasilan suaminya dari bertani dan berdagang buah-buahan yang tak seberapa.
Dua orang anaknya yang sudah berkeluarga dan punya anak, dari segi ekonomi juga belum mapan. Penghasilannya dari bertani dan berdagang hanya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sendiri.
Dengan kondisi fisik, mental dan ekonomi yang serba minus, bagaimana mungkin dia bisa hidup mandiri tanpa bergantung kepada saudara dan anak-anaknya.
Sepertinya, kondisi ini akan membuatnya semakin terfuruk.
Ternyata tidak!
Dia tak berlama-lama larut dalam kesedihan karena ditinggal pergi oleh pelindung dan penopang hidupnya. Sang suami tercinta yang telah mendampinginya selama puluhan tahun dalam suka maupun duka. Dia juga tak mau menjadi beban bagi saudara dan anak-anaknya.
Dengan sisa uang yang dia miliki, dia belanja barang-barang perkakas rumah tangga seperti: katel, termos, piring, gelas, tempat nasi dan yang lainnya. Barang-barang itu ia tawarkan kepada saudara, tetangga, teman dan orang-orang yang dia kenal di kampungnya.
Dia berjalan kaki dari rumah ke rumah menawarkan barang dagangannya. Dia menjualnya dengan cara kredit atau bayar nyicil. Misalnya untuk tempat nasi, ia jual dengan harga Rp. 30.000, empat kali bayar.
Seminggu sekali dia berkeliling kampung menawarkan barang dagangannya. Sambil menagih uang cicilan barang, ia mambawa pesanan atau barang baru untuk ditawarkan kepada para pelanggannya yang sebagian besar ibu-ibu rumah tangga. Setiap kali dia membawa barang dagangan hampir selalu habis terjual.
Keuntungannya memang tidak terlalu besar, namun sudah cukup untuk membiayai hidupnya sehari-hari.
Semakin lama, semakin banyak saudara, tetangga dan orang-orang kampung yang memesan dan membeli perkakas rumah tangga darinya. Dengan semakin banyak pelanggan, semakin besar pula keuntungan yang dia peroleh.
Bu Parmi semakin bersemangat menjalankan bisnis penjualan barang perkakas rumah tangganya.
Sekarang dia tampak lebih sehat, segar dan ceria. Tanpa dia sadari, aktivitas jalan kaki yang dilakoninya seminggu sekali membuat tubuhnya lebih sehat. pertemuannya dengan para ibu rumah tangga menjadi media sosialisasi untuk mengobati kesedihannya ditinggal sang suami.
Aktivitas bisnis kecil-kecilan yang ia jalani bukan hanya memberi keuntungan materi, tapi membuat jiwa dan raganya lebih sehat dan bahagia.
Ada yang menarik dari cara Bu Parmi menawarkan barang dagangnya. Dia tidak seperti pedagang atau sales yang agresif menawarkan dagangannya. Ketika mampir ke rumah pelanggannya. Dia hanya menyimpan barang dagangannya di meja atau teras rumah. Dengan senyum ramah, dia menanyakan kabar yang punya rumah dan ngobrol-ngobrol seputar masalah sehari-hari.
Pelangganya yang memilih sendiri barang apa yang dia butuhkan. Setelah menemukan barang yang dicarinya dan merasa cocok, dia bilang ke Bu Parmi, “Bu, yang ini saya ambil ya, harganya berapa?” Setelah tawar-menawar, terjadilah transaksi jual beli.
Tak jarang, ketika salah seorang anak pelanggannya merengek minta uang jajan kepada ibunya, tanpa ragu Bu Parmi merogoh dompetnya, lalu memberikan uang seribu atau dua ribu rupiah untuk si anak.
Sepertinya, bagi Bu Parmi, hubungan baik dan nilai-nilai persaudaraaan dengan pelanggan lebih penting ketimbang sekedar keuntungan materi.
Bersedih karena ditinggal oleh orang yang disayangi adalah hal yang wajar dan manusiawi. Tapi jika sedih berlebihan dan berlarut-larut, itu sudah tidak wajar dan tidak pada tempatnya.
Hidup tidak selalu seperti yang kita harapkan, namun hidup harus tetap dijalani dengan tabah dan ikhlas. Selalu ada solusi dari setiap masalah. Jika ada kemauan pasti ada jalan.
Itulah pelajaran berharga yang bisa kita dipetik dari cerita Bu Parmi, janda tua yang tabah dan mandiri.
Beberapa hari yang lalu, saya bertemu Bu Parmi, yang walaupun sudah berumur namun masih tampak sehat dan ceria.
Terima kasih untuk inspirasi dan pelajaran berharganya Bu Parmi.
Inspirasi dan pelajaran apa yang anda petik dari cerita Bu Parmi? silakan berbagi di komentar.
Ilustrasi : Foto lukisan karya S. Rudiyanto
Berjudul “The Unfinished Women”
Sumber foto : http://christoperdonproject.blogspot.com/
Jika menurut anda artikel ini cukup menarik dan bermanfaat silakan share di twitter atau facebook. Jika mau berlangganan artikel blog ini melalui email, silakan subscribe disini.
Tarjum adalah pendiri dan editor Curhatkita, Forum Curhat, Grup Teman Curhat dan Solusi Bipolar Facebook. Penulis buku psikomemoar "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah". Anda bisa kenal lebih dekat dengan Tarjum di sini dan ikuti Tarjum di Facebook dan Twitter.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)