Oleh Tarjum
Saya tertarik dengan tulisan yang cukup menyentak di sebuah blog populer yang ditulis seorang jurnalis dan blogger senior yang sangat dikenal di jagad maya, Ndoro Kakung.
Dalam salah satu posting blognya berjudul “Badminton Pecas Ndahe” Ndoro Kakung mengupas sisi lain seorang atlet. Tulisan yang menarik dan berbobot dari seorang blogger senior. Berikut kutipannya.
Seorang atlet tak lahir dalam semalam. Ia telah berjalan jauh sebelum akhirnya tiba di puncak kejayaan. Legenda bulutangkis Indonesia Rudy Hartono, juga “raja smash” Liem Swie King, atau Hastomo Arbi, Taufik Hidayat, misalnya, berbulan-bulan menggedor dirinya sendiri. Mereka mengibaskan raket ribuan kali, berlari puluhan kilometer memutari lapangan, mengangkat barbel, senam, push-up, sit-up, dan seterusnya.
Tubuh memang tak bisa dibiarkan terkulai seperti baju lusuh. Tubuh seorang atlet ibarat busur yang direntang sebelum sebuah performance ditembakkan.
Tubuh juga misteri. Banyak hal bisa terjadi pada saat yang menentukan tiba. Latihan berbulan-bulan pada dasarnya adalah untuk mengatur pelbagai hal yang mungkin itu ke dalam suatu tertib. Dan pertandingan, adalah ujian terpuncak untuk mengalahkan misteri itu.
Seorang atlet dengan demikian, jauh di dasar dirinya, adalah seorang yang sendirian.
Itulah yang umumnya tak terlihat oleh para penonton, ketika seorang atlet bertanding. Memang ada lawan, tapi pada akhirnya lawan terutama ada dalam diri sendiri. Jantung yang seperti digenjot kaki setan itu bukan milik jutaan orang. Juga ketegangan, juga kecemasan, sebenarnya tak dapat dibagi-bagi.
Apa Kaitan antara Atlet dengan ODB?
Lalu, apa kaitannya antara atlet seperti yang dibahas dalam tulisan di atas dengan ODB? Biar nggak penasaran, silakan simak tulisan ini sampai selesai.
Untuk meraih sukses sebagai seorang atlet, butuh kerja keras, ketekunan, disiplin dalam melatih diri untuk mencapai prestasi terbaik. Jangan berpikir bahwa untuk mencapai prestasi puncak bisa didapat dengan cara instant.
Begitu pula untuk keberhasilan mengelola kondisi psikologis, butuh kerja keras, ketekunan dan disiplin menjalani terapi dan pengobatan.
Atlet butuh seorang pelatih untuk mengarahkan, mengawasi dan memastikan apa yang dilakukan sang atlet benar, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu prestasi puncak sang atlet.
Psikiater, ibarat seorang pelatih bagi seorang ODB. Dia akan mengarahkan, mengawasi dan memastikan terapi dan pengobatan yang dijalaninya, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, yaitu kondisi psikologis yang lebih baik.
Saat seorang atlet melatih otot dengan mengangkat barbel, dalam kondisi tertentu dia merasa sudah tak kuat lagi mengangkat beban yang tarasa sangat berat, namun sang pelatih memintanya terus mengangkat sampai hitungan terntentu kerena sang pelatih tahu dia bisa. Sang atlet hanya merasa tidak akan kuat. Dan ternyata dia kuat.
Kadang kita berpikir, sudah tak kuat lagi dengan beban psikologis yang terasa sangat berat. Namun ketika kita bertahan dengan segala daya, ternyata kita bisa melewatinya.
Bukan Sekedar Perumpamaan
Aktivitas fisik seorang atlet di atas juga bukan sekedar perumpamaan aktivitas mental seorang bipolar, tapi merupakan salah satu ‘suplemen’ yang bisa membantu proses pemulihan bipolar. Banyak ODB mengakui bahwa aktivitas fisik seperti olahraga yang dilakukan secara kontinyu dan konsisten, berpengaruh positif bukan hanya untuk kebugaran fisiknya tapi juga kebugaran mentalnya.
Pengalaman saya sendiri, latihan-latihan fisik yang saya lakukan, tanpa saya sadari ternyata berpengaruh besar terhadap pemulihan kondisi mental saya. Saya berani mengatakan olahraga mempercepat proses penyembuhan bipolar saya.
Seorang atlet bukan melulu melatih kekuatan fisik dan melatih teknik permainannya, meraka juga melatih kekuatan mentalnya. Mengapa? Karena saat bertanding seorang atlet tidak cukup hanya mengandalkan kekuatan fisik dan penguasaan teknik semata, tapi harus bisa mengendalikan kecemasan dan ketegangan mentalnya. Pada situasi tertentu bahkan kekuatan mental lebih penting dibanding kekuatan fisik.
Selain itu saat berlatih atau bertanding, seorang atlet juga melakukan interaksi sosial dengan sesama atlet, pelatih, official dan supporter. Jadi dalam olahraga selain aktivitas fisik juga ada aktivitas mental dan sosial. Itulah mungkin mengapa aktivitas olahraga berpengaruh positif terhadap kondisi mental seseorang.
Apakah kerja keras kita secara fisik, mental dan sosial bisa menjamin pemulihan problem psikologis? Belum tentu! Tapi kalaupun kita belum mencapai pemulihan kondisi mental seperti yang diharapkan, paling tidak kita sudah melangkah mendekati tujuan. Sebaliknya jika kita tak pernah bergerak, hanya berdiam diri dan meratapi nasib, mengharap datangnya keajaiban, kita tak akan pernah mencapai apa pun.
Nah, dari penuturan di atas, saya hanya ingin menyarankan, selain menjalani terapi dan pengobatan sesuai petunjuk psikiater, ada baiknya anda meluangkan waktu untuk berolahraga sesuai minat anda. Tapi, bukan olahraga yang hanya dilakukan sewaktu-waktu atau sekedarnya. Anda harus melakukannya dengan teratur, disiplin dan konsisten.
Olahraga tidak butuh biaya besar dan anda bisa melakukannya dengan senang hati. Silakan coba jalani, nikmati prosesnya, monitor dan rasakan pengaruhnya terhadap kondisi psikis anda.
Klo mau anda bisa sharing pengalaman terapi bipolar yang pernah atau sedang anda jalani di Curhatkita.
Jika menurut anda posting ini cukup menarik dan bermanfaat silakan share di twitter atau facebook. Jika mau berlangganan artikel blog ini melalui email, silakan subscribe disini.
Tarjum adalah pendiri dan editor Curhatkita, Forum Curhat, Grup Teman Curhat dan Solusi Bipolar Facebook. Penulis buku psikomemoar "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah". Anda bisa kenal lebih dekat dengan Tarjum di sini dan ikuti Tarjum di Facebook dan Twitter.
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)