Oleh Ema Amalia
Seorang teman online mengirim tulisan untuk Curhatkita. Tulisan tentang cerita perjuangannya mengatasi gangguan bipolar.
Dari penuturannya kita bisa tahu bagaimana cara dia menyikapi, mencari solusi dan mengatasi problem psikologisnya.
Karena cukup panjang, curhatnya saya posting menjadi dua bagian. Silakan simak curhatnya.
Saya kira tidak ada orang yang menginginkan atau membayangkan harus hidup dengan suatu penyakit, apalagi penyakit yang sulit dijelaskan pada orang lain semacam gangguan jiwa.
Yang jelas, kalau lagi kambuh, sedikit harapan untuk ada yang menengok apalagi kalau serangannya berulang. Pada akhirnya, dukungan dari keluarga dan tetanggalah yang paling menolong.
Buat saya, setelah sekitar 11 tahun didiagnosis sebagai bipolar disorder, dan kalau diingat-ingat setelah 20 tahunan hidup dengan gejalanya, penyakit ini adalah suatu pelajaran besar untuk memperbaiki keimanan terutama keimanan terhadap taqdir. Juga, belajar keterampilan yang lebih tinggi untuk menempatkan syukur dan sabar pada tempatnya. Berat. Dan kisahnya kalau diceritakan, dramatis. Mungkin bisa dijadikan sinetron...:)
Sejak tahun 1991, saya sebenarnya sudah pernah beberapa kali ke psikolog. Tapi, memang nggak pernah ke psikiater, karena waktu itu stigma orang pergi ke psikiater masih amat buruk.
Gejala utama waktu itu adalah perasaan malas yang luar biasa untuk suatu periode, tapi biasanya hilang dengan berjalannya waktu. Lalu, saya ingat bahwa kemampuan berpikir saya menurun karena selalu ada periode “blank” dan saya inginnya tidur dan melamun.
Saya memang dikenal sebagai orang yang rajin dan di sekolah berprestasi tinggi. Dari sejak remaja, saya selalu menyebut bahwa kekuatan saya adalah karena saya rajin dan bersemangat. Saya tidak merasa jenius, karena orang jenius biasanya hanya butuh sedikit waktu untuk belajar agar berprestasi tinggi.
Maka, ketika semangat saya rusak oleh gejala kemalasan, yang di kemudian hari saya tahu bernama depresi, prestasi saya secara perlahan menurun. Tetapi, saya masih bisa meraih cum laude untuk S1 saya dan kemudian alhamdulillaah ditawari menjadi dosen di almamater saya.
Saya menikah muda saat masih kuliah, karena merasa mempunyai kebutuhan biologis yang tinggi (mudah-mudahan ini bukan hal yang tabu untuk diungkapkan, ya) dan saya pikir barangkali menikah adalah solusi dari perasaan malas yang luar biasa itu. Setidaknya itu yang saya yakini waktu itu.
Yang saya ingat dari periode 1991-1995 adalah saya memang bermasalah dengan urusan antara laki-laki dan wanita. Teman-teman di SMP pernah ada yang menasehati bahwa saya tidak harus terlalu kaku, sebaiknya fleksibel dalam urusan sensitif yang satu itu. Ini menyangkut sikap saya yang tidak mau berpacaran kecuali sekedar perkenalan sebelum pernikahan.
Cuma, kalau dipikir sekarang, mungkin tidak usah jadi memutuskan pertemanan kalau emang nggak mau berpacaran. Di SMA sih, kebetulan saya sekolah di SMA yang persaingannya sangat ketat, sehingga prosentase siswa yang berpacaran memang relatif sedikit. Semua orang sibuk dengan target UMPTN masing-masing.
Saya menikah tahun 1995, saat kuliah tinggal sedikit, dengan kakak kelas di Jurusan yang sama. Ketemunya sebagai aktivis mesjid. Dua tahun pertama, semua berjalan baik sampai kami mempunyai anak satu, perempuan. Tetapi, ternyata menikah tidak bisa secara mudah dikatakan solusi untuk gejala depresi, yang kemudian bertambah gejala suka menyerang ego orang dengan kata-kata.
Lulus S1 dengan cemerlang dan diterima sebagai dosen di almamater, ternyata membuat saya sombong dan membuat suami minder. Pada dasarnya, baru 5 tahun ini saya menyadari bahwa saya sudah kehilangan cinta suami sejak 1997, sejak saya diterima jadi dosen dan punya anak. Tetapi, saya tidak tahu saat itu bahwa ada penyakit yang namanya bipolar disorder.
Pengetahuan saya dari yang kadang berkunjung ke psikolog, hanya sampai depresi saja. Satu nasihat dari psikolog waktu itu—yang sekarang berusaha saya amalkan—adalah “Lebih banyaklah bersyukur”. Tetapi, untuk bisa mengamalkan itu dengan sepenuh kesadaran, saya memang mengkonsumsi obat. Dosisnya tidak tinggi, carbamezapine 200 mg (2x1) dan clozaril 25 mg (2x1), tapi lumayan juga harganya. Sebulan sekitar 400 ribu rupiah.
Sebenarnya prestasi saya waktu S1 lebih banyak ditopang oleh landasan kuat 4 tahun pertama. Setahun sisanya sebenarnya saya sudah menderita bipolar dalam bentuk yang ringan. Artinya belum ada onset mania atau secara bahasa umum histeris atau marah-marah tidak jelas dalam periode tertentu sehingga mengganggu orang. Ada sih istilahnya, mungkin bipolar II. Sejak tahun 1998-an, sebenarnya saya sudah sangat terganggu dengan osilasi mood yang besar. Ini ditandai dengan kurang bisa berkonsentrasi dan hilangnya kemampuan multitasking.
Saya pikir di periode 1995-1998, saat rumah tangga kami relatif masih utuh, suami akan menolong dengan mau konsultasi ke konseling rumah tangga. Tetapi, di luar dugaan, dia amat resisten untuk ini dan di kemudian hari, sekitar 5 tahun kemudian setelah resmi bercerai, baru saya tahu kalau dia mungkin sudah punya cinta lain sejak sering diserang oleh saya dengan kata-kata yang tidak enak.
Memang, tanda jelas dari saya mengidap bipolar adalah hilangnya kemampuan untuk berhubungan sosial dengan sehat. Istilah agamanya, kemampuan hablumminannas saya, rusak.
Saya didiagnosis bipolar di luar negeri, ketika dengan segala upaya saya menyusul suami yang sekolah lebih dulu. Saya khawatir rumah tangga kami pecah, karena memang hubungan antara kami sudah tidak baik. Waktu itu kami berhasil berkumpul sebagai sebuah keluarga di sana.
Pengetahuan tentang bipolar di sana, waktu itu tahun 1999-2001, sudah lumayan. Saya malah tahunya istilah “bipolar disorder” atau “manic depressive” juga di sana. Ada banyak cerita waktu kami di luar negeri itu. Cuma, memang banyak stressor yang malah menambah masalah keluarga kami.
Berkumpul fisik ternyata bukan solusi untuk mengutuhkan rumah tangga. Masalah yang berkaitan dengan studi saya dan interaksi dengan teman-teman serta profesor di Universitas amat terganggu oleh gejala bipolar saya, tanpa saya sadari.
Bersambung...
Artikel Terkait:
Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.
Komentar :
wow nice steady interesting and useful info, really nice blog
sprei anak
Posting Komentar
Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)