BUKU: 2 KUTUB

Buku ini ditulis berdasarkan kisah nyata penulisnya. Mengupas secara detail dan sistematis dari gejala awal gangguan bipolar, saat berada di puncak manik dan depresi, sampai langkah-langkah pemulihannya. Inilah buku “2 KUTUB: Perjalanan Menantang Di Antara Dua Kutub”.

Info Buku >> KLIK DISINI

Tidak Ingin Berkutat dengan Perasaan “Minder” dan “Tidak Mampu” ( Bagian 2, selesai)

    

Oleh Ema Amalia


Curhat sebelumnya...


Saat itu, di periode 1999-2001, hubungan dengan suami di rumah tidak sehat. Sementara di kampus saya ada masalah yang semakin membesar seperti bola salju, karena pola menyerang orang dengan kata-kata pedas juga diterapkan di lingkungan kampus.

Bayangkan, ini pada orang-orang yang baru kenal, pada orang-orang yang harusnya saya hormati. Saya juga membawa nama institusi tempat saya bekerja, almamater, dan negara karena saya ke sana dengan beasiswa.

Tetapi, saat itu pun, kemampuan deteksi saya terhadap masalah sudah sangat bias. Apalagi kemampuan untuk menyelesaikannya. Inginnya menyelesaikan, yang terjadi malah menambah parah. Apalagi ada hambatan perbedaan pola komunikasi dan budaya.

Saat saya memutuskan untuk konsul ke psikiater dan psikolog (selalu jadi paket di sana), semua sudah terlambat. Saya mengalami mania pertama di musim dingin, akhir Januari 2001.

Yang tidak dilakukan adalah konsul ke orangtua. Sampai saat ini, hal ini yang sering saya sesali. Sementara, suami sudah lepas tangan, karena dimata dia, selain saya suka mengeluarkan kata-kata yang tajam, saya sudah “pindah ke lain hati” dengan seseorang di kampus saya. Kampus kami berjauhan sekali, berjarak 1,5 jam dengan kereta. Suami berangkat jam 6 pagi dan pulang jam 10 malam. Anak seharian di penitipan anak.

Dimata saya pun, waktu itu, seseorang di kampus itu adalah seseorang yang istimewa. Tetapi, kalau dipikir sekarang, mungkin nggak sampai segitu. At least, saya yang GR alias Gede Rasa. Mungkin yang tepat, saya senang dapat mentor dia. Kagum kalau dia ganteng kayak berdarah campuran, pintar dan kami ingin berteman baik. Dia sendiri, mungkin juga serba salah, karena satu hal yang kadang saya pikir remeh… ya, karena saya pakai jilbab. Sesuai maksudnya, saya bersyukur jilbab saya memang jadi “pelindung” untuk saya.

Terus dengan segala pantangan yang datangnya dari agama yang saya anut. Tidak makan daging babi dan tidak minum alkohol. Sebagaimana diketahui, jika ada pesta tahunan laboratorium, suka ada acara “minum”, dan teman-teman di kampus maupun profesor baik, mereka selalu menanyakan apa yang nggak boleh dan menyediakan jus dan hidangan ikan.

Tetapi, suami saya mana juga bisa disalahkan, kalau dipikir sekarang, jika dia lebih lari lagi dan lebih “menyiapkan” untuk pergi di belakang saya. Saya suka cerita dengan antusias dan memperlihatkan foto-foto kegiatan bersama di kampus. Kalau difikir sekarang, setelah 11 tahun didiagnosis bipolar disorder, sikap saya ini jelas suatu gejala bipolar disorder.

Ada satu pameo di kalangan ODB (Orang dengan Bipolar Disorder), yaitu “bagaimana membedakan ini saya yang sejati dan ini saya yang lagi terganggu gejala bipolar disorder?” Ini sulit, bahkan untuk diri-sendiri. Apalagi bagi orang lain.

Saya menulis inipun, bisa jadi sedang terganggu gejala hypomania. Tetapi, sekarang ini saya dibantu obat teratur. Dan, saya pernah membaca ada seorang schizophrenia sekalipun sembuh, karena kalau lagi “jadi” alias histeris, dia melepaskannya dengan berteriak sekuat tenaga ke bantal, menulis, dan tidak dengan menaikkan dosis obat. Dia akhirnya sembuh, sekolah lagi, dan menjadi profesor di bidang kesehatan jiwa.

Begitu pula yang terjadi pada Pak Tarjum, kan? Pak Tarjum pernah mengidap bipolar dan berhasil sembuh. Saya ingin begitu, dan kelihatannya kuncinya adalah dengan berusaha melepas hal-hal negatif yang terperangkap di jiwa dengan cara yang positif.

Singkat cerita, waktu di luar negeri itu, hubungan sosial di kampus jadi rusak. Karena saya sering marah-marah via email. Lalu, gejala megalomania mulai muncul. Gejala megalomania adalah waham kebesaran.

Yang suka saya merasa miris, sekarang setelah lebih faham dan cukup berpengalaman hidup dengan bipolar adalah, penyakit ini merusak kesempatan saya untuk punya masa depan “cemerlang”. Energi saya di kampus hanya habis untuk bertengkar dengan orang, dan hubungan baik yang seharusnya terjalin, malah rusak dan nyaris permanen.

Upaya saya memperbaiki ini di periode 2003 – 2005 malah makin membuat bipolar disorder saya lebih parah. Dan, hubungan baik di insitusi saya bekerja juga ikut rusak. Bagaimanapun, orang punya batas maklum dan sedikit banyak berita menyebar… Ada lho, kenalan lama yang kalau ketemu pura-pura nggak kenal dan melengos. Ada yang mengkritik dengan kata-kata yang tajam… Sekarang saya berusaha mengolah hal-hal demikian itu sebagai energi untuk memperbaiki diri agar bisa melakukan hal-hal yang positif.

Saya tidak berhasil menyelesaikan tesis S2 di luar negeri karena keburu harus masuk rumah sakit akibat histeris di rumah pada tengah malam. Tapi saya bersyukur, tesis ini bisa diselesaikan di Indonesia.

Di luar negeri sana, tetangga berhak menelepon ambulan untuk membawa saya ke rumah sakit. Psikiater di sana mensyaratkan yang boleh menengok dan membawa saya pulang ke rumah sakit adalah orangtua saya. Orangtua saya datang ke sana, alih-alih menemani saya wisuda–rencananya sampai S3 dan udah lulus ujian masuknya–malah harus menjemput saya ke rumah sakit.

Sebelas tahun terakhir adalah masa guncangan yang luar biasa untuk keluarga kami. Ayah saya menua dengan cepat secara fisik, demikian juga Ibu saya. Masa mania adalah masa yang paling tidak diinginkan, karena saya tidak bisa kemana-mana, apalagi mengurus anak.

Tahun 2003, saya dan suami resmi bercerai. Dia nikah lagi dengan segera dan dia lulus S3 sesuai rencana kemudian bekerja jadi dosen di salah satu universitas terkemuka di Malaysia dan wafat tahun 2010 lalu.

Anak ikut saya, dan setelah dia baligh di usia 11 tahun, kalau ditanya, selalu dia bilang, ingin ikut saya dengan ditopang oleh Ayah saya dan Ibu saya. Dia tidak merasa nyaman dengan Ayahnya almarhum maupun keluarga dari pihak Ayahnya. Buat saya, ini saya syukuri sekali, karena dengan wafatnya dia, anak saya tidak harus mengalami guncangan berat karena memang sejak awal ikut saya.

Saya tidak menyangka bisa menulis sepanjang ini. Mudah-mudahan tidak apa-apa, ya, Pak Tarjum. Saya menulis ini dengan harapan ini suatu cara agar hal-hal negatif yang terus berkutat di jiwa saya mengalir keluar.

Saya bersyukur, bahwa akhir-akhir ini hubungan saya dengan orang-orang masa lalu saya di luar negeri sudah bisa dibilang pulih. Kesalahfahaman sudah terurai dan hubungan secara profesional juga sudah terentang kembali.

Tugas berat yang menghadang di depan adalah menjaga kepercayaan dari rekan-rekan kerja yang sudah setahap demi setahap pulih. Juga, untuk lepas dari tanggung jawab orangtua sebagai seorang single mother. Selama ini sih, udah 5 tahun saya dibantu secara moril dan financial oleh ortu dan keluarga.

Demikian pula, semoga saya tidak mengalami periode mania lagi agar tugas mendidik anak dan mengurus rumah tidak tertumpu pada Ibu saya dan pembantu rumah tangga yang udah semakin tua. Saya ingin lebih mandiri bahkan kalau bisa berkontribusi dalam kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi orang lain.

Sesuai judul tulisan ini, walaupun Sudah 6 tahun nyaris vakum karena trial and error untuk bisa hidup berkah dan produktif sebagai ODB (Orang dengan Bipolar), saya tidak ingin lagi merasa “tidak mampu” atau “minder” karena segala hal kekurangan berkaitan dengan Bipolar.

Saya ingin semangat berjuang dan berikhtiar sampai saya pulih. Saya ingin percaya diri dengan menyandarkan pada keMaha Kuasaan Allah Swt. Dan, sesudah berikhtiar, bersyukur dan bersabar pada tempatnya. Ini agar saya lulus pada pelajaran berat untuk menghayati “iman pada takdir” selama lebih kurang 15 tahun ini.

Iman pada takdir memang berat pada saat hal-hal yang tidak diharapkan dan tidak menyenangkan menimpa. Sementara, perasaan “tidak mampu” dan “minder” juga adalah bentuk tidak syukur pada banyak hal positif yang masih saya miliki dan masih bisa dimanfaatkan untuk menjadi solusi bagi masalah diri sendiri dan juga orang lain. Juga, kedua perasaan negatif itu bisa jadi bentuk pengamalan yang buruk dari “iman pada takdir”.

Mudah-mudahan kedepannya saya bisa melangkah lebih ringan dan hati saya dilapangkan oleh Allah Swt. untuk beraktivitas yang bermanfaat. Baik sebagai diri sendiri, sebagai ibu, sebagai anak, sebagai pekerja, dan sebagai anggota masyarakat. Dan, saya ingin eksis di tempat pekerjaan sebagai seorang yang profesional dan menjadi ibu yang profesional juga di rumah. Amiin.

Bandung, 08 Oktober 2011

Anda sekalian bisa berkomunikasi langsung dengan
penulis artikel ini via email dan akun fb nya.
Penulis : Ema Amalia
Email : ema.amalia@gmail.com
Facebook : http://www.facebook.com/ema.amalia



Bookmark and Promote!



Artikel Terkait:

Ingin mendapat artikel seperti ini langsung ke Email anda? Silahkan masukan alamat email anda untuk berlangganan.

Komentar :

ada 5 komentar ke “Tidak Ingin Berkutat dengan Perasaan “Minder” dan “Tidak Mampu” ( Bagian 2, selesai)
Anonim mengatakan...

@ema: takdir anda bagi saya, saya nilai baik : ada kesempatan pergi ke luar negeri, kedudukan sosial yang terhormat (profesi dosen), kondisi financial tidak berada di level nol, tingkat memberi pemakluman pada orang sekitar kita yang berlevel pendidikan tinggi lebih mudah (logika mereka bermain, tidak terlalu sukar memperoleh informasi bipolar sehingga lebih familier dengan istilah bipolar, oDMK, dsb)dibanding saya yang "ingin" mencoba berdiskusi mengenai skizofrenia dengan lingkungan pergaulan saya yang berprofesi barber shop dibawah pohon rindang, marketing cakue, cilok, manager plus bussines owner kios rokok, residence at gang "bronx". Maaf comment saya tidak bermaksud menyindir dan iri terhadap anda deh. Saya bermaksud bahwa ada penilaian lain dari manusia di luar diri anda. selama ini yang saya rasakan yang membuat saya mudah kecewa, depresi, kadang sukar menahan kemarahan adalah saya terjebak dalam pemikiran saya sendiri tidak ada teman curhat, jadi saya dapat bersyukur ternyata realitas lain di luar diri saya ada yang boleh jadi lebih menderita.
Kepanjangan ya ...... ntar kalo ada kesempatan lain disambung lagi deh. ni juga bingung nyusun kata katanya ... biar bisa ada hikmahnya gitu, kalo cuma asal nulis mah mendingan saya ga usah comment aja. intinya keep smile en saya dukung prinsip "Beriman kepada takdir".

@kangTarjum: kalo olah raga rutin sekarang yang dilakuin akang sekarang tiap hari? ato berapa kali seminggu? satu harinya brapa jam? Tks.

Tarjum on Jumat, 21 Oktober 2011 pukul 08.44.00 WIB mengatakan...

Kita kadang merasa diri kitalah yang paling menderita. Padahal lebih banyak orang yang lebih menderita bahkan jauh lebih menderita dibanding kita. Kita juga suka membandingkan diri kita dengan orang lain yang lebih sukses atau lebih segala-galanya dari kita.

Itulah mengapa Tuhan menyuruh kita mensyukuri apa yang kita miliki. Yang berlebih mensyukuri kelebihannya dan mau berbagi dengan yang kekurangan. Sebaliknya yang merasa kekurangan mensyukuri apa yang dia miliki karena ternyata banyak orang yang jauh lebih kekurangan darinya. Kekurangan harus memacu semangat untuk menjadi lebih baik.

Tuhan maha tahu apa yang terbaik untuk kita. Kalau terjadi hal-hal buruk (dalam pandangan kita) itu artinya Tuhan sedang memberi pelajaran kepada kita agar kita menjadi lebih baik.

Tugas kita adalah ikhtiar dengan segenap daya dan fasilitas yang sudah Tuhan berikan kepada kita agar kita menjadi pribadi yang lebih baik. Selebihnya, kembalikan kepada-Nya.

Klo ditanya aktivitas olah raga saya sekarang. Jujur saja, karena kesibukan kerja sekarang saya jarang olah raga. Paling joging pagi hari atau kadang-kadang main bola voley. Itupun klo gak digangguin si kecil yang suka merengek-rengek gak mau ditinggal sendiri di pinggir lapangan...:)

@anonim, cara anda menulis menunjukan anda sudah biasa menulis. Silakan klo anda mau berbagi pengalaman di Curhatkita...:)

Ema Amalia mengatakan...

@Anonim: Terima kasih atas komentarnya. Saya sekarang suka mengamalkan dzikir "yaa syakuur" sebagai ungkapan memohon diberi sikap bersyukur atas segala yang dikaruniakan-Nya.

Kalau membandingkan diri dengan orang lain, ini sangat tergantung dengan siapa dibandingkan. Apakah dengan rekan-rekan seangkatan yang melesat karirnya ataukah dengan rekan-rekan lain yang juga ada yang memiliki masalah...

Kalau dari tuntunan agama yang saya anut, untuk memperoleh sikap bersyukur dan merasa cukup, dianjurkan untuk sering-sering membandingkan dengan orang-orang yang nasib dan keadaannya tidak sebaik kita. Dan, akhir-akhir ini saya berupaya keras untuk melakukan ini.

Ema Amalia mengatakan...

@Pak Tarjum: Terima kasih atas follow-upnya. Ya, kita harus terus berikhtiar, dan setelah berikhtiar hasilnya harus dikembalikan kepada-Nya.

Tarjum on Senin, 24 Oktober 2011 pukul 18.36.00 WIB mengatakan...

@mbak Ema, sama-sama terima kasih juga sudah mau berbagi dan menanggapi komentar. Tulisan anda bermanfaat untuk orang lain. Jangan kapok ya kirim tulisan ke Curhatkita..:)

Posting Komentar

Sampaikan komentar terbaik anda di kolom komentar :)

Tiga Serangkai eBook Bipolar

3 eBook Bipolar ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulisnya. Mengupas secara detail dan sistematis dari gejala awal, saat berada di puncak manik dan depresi, sampai langkah-langkah pemulihannya. Inilah ebooknya : "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah”, “Berdamai dengan Bipolar” dan “7 Langkah Alternatif Pemulihan Bipolar”.
eBook 1: "Mengubah Mimpi Buruk Menjadi Mimpi Indah"

Buku psikomoar ini bercerita tentang pergumulan saya selama bertahun-tahun dengan gangguan jiwa yang tidak saya fahami dan membuat saya bertanya-tanya, “Apa yang terjadi dengan diri saya? Penyakit apa yang saya alami? Bagaimana cara mengatasinya?” Ironisnya, saya baru tahu apa yang terjadi dengan diri saya, 8 tahun setelah saya pulih, bahwa saya mengalami Gangguan Bipolar. [Selengkapnya]




eBook 2: "Berdamai Dengan Bipolar"

Bagaimana mengenali dan mengatasi Gangguan Bipolar?
Bagaimana menanggapi sikap negatif orang-orang di sekitar anda?
Bagaimana mendampingi orang yang mengalami Gangguan Bipolar? eBook ini memberi jawaban dan solusi alternatif penanganan Bipolar. [Selengkapnya]



eBook 3: “7 Langkah Alternatif Pemulihan Bipolar”

eBook ini merupakan inti dari pengalaman dan pemahaman bipolar saya. Inti dari tulisan-tulisan saya di buku, ebook, blog, facebook, twitter dan media lainnya. eBook ini bukan teori-teori tentang gangguan bipolar! Bukan formula ajaib untuk mengatasi gangguan bipolar! eBook ini tentang tindakan, langkah-langkah penanganan bipolar. [Selengkapnya]


eBook Novel: “Pengorbanan Cinta”

Novel ini bukan sekedar kisah cinta yang romantis dengan segala macam konflik di dalamnya. Saya berani menyebut novel ini sebagai “Buku Pelajaran Cinta”. Beda dengan buku pelajaran pada umumnya, Buku Pelajaran Cinta ini tak membosankan, malah sangat mengasyikan dibaca. Setelah mulai membaca, jamin Anda tak ingin berhenti dan ingin terus membacanya sampai akhir cerita. [Selengkapnya]



eBook Panduan: “7 Langkah Mudah Menyusun & Memasarkan eBook”

Jika dikemas dengan desain cover yang apik dan diberi judul yang manarik, kumpulan posting blog atau catatan facebook anda bisa disusun menjadi sebuah ebook yang akan memikat pembaca di ranah maya. Selanjutnya ebook anda tinggal dipasarkan secara online.
[Selengkapnya]

 
 © Copyright 2016 Curhatkita Media  template by Blogspottutorial